Jika khawatir, antisipasi dengan tindakan. Bukan hanya mengucapkan kata khawatir, tanpa melakukan tindakan apapun.
* * *
Smara mendengus kesal, kondisi gerbang sekolah ketika pulang sekolah tak pernah berubah. Berdesak-desakan, selalu seperti itu. Mendorong orang yang ada di depannya adalah bentuk penyaluran emosinya.
“CEPET WOY! BESOK-BESOK KAGAK USAH DIJEMPUT BIKIN MACET AJA! MANJA PAKE DIJEMPUT-JEMPUT SEGALA, UDAH SMP JANGAN DIJEMPUT MULU!” teriak Smara sambil mendorong orang-orang yang ada di hadapannya. Meskipun sudah mengikat rambutnya dengan scrunchie, tetap saja terasa gersang.
“LO PIKIR LO DOANG YANG MAU PULANG HAH?!” Salah satu orang yang Smara dorong berbalik badan dan balas membentak.
“Lo lagi, lo lagi yang gue dorong! Heh Nazla, napa sih lo di depan gue mulu?!” seru Smara saat melihat cewek yang membentaknya adalah cewek yang beberapa hari yang lalu ia dorong juga.
“Lo sendiri kenapa di belakang gue mulu?!” balas Nazla yang emosinya sebelas dua belas dengan Smara.
Smara mengerutkan alisnya dengan tajam. “Ya mana gue tau!”
“Gue juga sama!” Nazla berbalik badan dan berjalan, peluang keluar dari gerbang akan semakin lama jika ia terus menanggapi Smara.
“HEH! LO PADA JANGAN NUNGGUIN JEMPUTAN DI GERBANG DONG! LO PIKIR NIH GERBANG PUNYA NENEK MOYANG LO APA?! SEKOLAH MILIK PEMERINTAH JANGAN SOK BERKUASA!” Smara kembali membentak murid-murid yang berdiam di depan gerbang, menghalangi jalan.
“Smara,” panggil seseorang di belakang cewek itu.
Smara menghentikan langkah di trotoar dekat gerbang, tanpa berbalik badan ia berseru, “Apa?! Mau protes gue marah-marah hah?! Gue marah-marah kayak gini tuh yang untung juga lo semua, biar bisa keluar sekolah cepet, gak desak-desakan!”
Smara terdiam saat orang-orang di sekitarnya mendadak senyap, orang-orang yang ada di hadapan Smara menatap ke belakangnya. Damn. Smara salah membentak orang, ia kira orang yang tadi memanggilnya adalah murid yang satu sekolah dengannya.
“Reon,” panggil Smara sambil menatap Reon yang selalu menggunakan jas almamater biru dongker, kali ini Smara melihat langsung rambut Reon yang tak ditutupi oleh topi. “Reon, kemana topi tukang parkir lo?” tanya Smara.
“Topi tukang parkir?” tanya balik Reon yang kebingungan.
“Itu, topi yang biasanya lo pake.”
“Bukan topi tukang parkir namanya.”
Smara mengikik. “Terserah lo deh, salahin bentuk topinya yang kayak suka dipake tukang parkir.” Smara tersenyum, bukan ke Reon, melainkan ke sosok di belakang cowok itu. “Ada sugar daddy gue,” bisik Smara ke Reon saat Gino sedang berjalan mendekati mereka.
Reon mengikuti arah pandang cewek itu, ia menghela napasnya. Gino tersenyum mendekati mereka berdua, membuat kesenangan menimpa Smara.
“Hai, Om.” Smara menyapa Gino.
“Smara, kan?” Gino memastikan ia tak salah dengar kemarin, saat gadis itu memperkenalkan diri.
Smara mengangguk dengan pipi yang memerah, bahagia sekali pria itu mengingat namanya.
“Pah, jemput Reon nanti satu jam lagi, Reon ada urusan sama Smara,” ujar Reon yang berhasil memudarkan senyum di bibir Smara.
Smara langsung menatap Gino. “Om juga bisa ikut, kok.“
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
JugendliteraturKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...