9 - Pasutri Munafik

390 67 32
                                    

Be my wife and be nice mother for Reon.

Kamu bisa. Luangin waktu buat Reon, dia butuh kamu, bundanya.

Suara Gino beberapa hari yang lalu kembali terputar di telinga Zira. Mata bermanik biru gelap itu melirik jam di pergelangan tangannya, ini sudah waktu jam pulang sekolah. Zira bangkit dari kursi putar, ia akan menjemput Reon.

Hari ini Gino ada perjalan bisnis di luar kota selama beberapa hari, dengan susah payah Zira meyakinkan Gino bahwa dirinya baik-baik saja—mual kemarin hanya masuk angin biasa.

“Sejak kapan kamu belajar ngendarain mobil?”

Pertanyaan itu terdengar saat Zira hendak masuk ke jok kemudi mobil, suara gemuruh halilintar dan sosok pria berkemeja hitam yang sedang mendekatinya sukses menyambar detak jantung Zira.

“M-Melvin,” panggil Zira. “K-kamu ... bukannya udah berangkat tugas?”

Zira meringis dalam hati, bodoh, mengapa ia harus gugup segala?!

Empat belas tahun Zira menikah dengan Melvin, ia sangat kenal dengan sosok pria itu, terlebih mereka sudah saling kenal sejak zaman putih abu-abu.

Ada beberapa peraturan yang Zira buat selama bertahan di pernikahan toksik ini. Peraturan pertama, jangan gugup. Jika gugup akan menarik perhatian Melvin untuk mencari tahu. Peraturan kedua, harus berani menatap mata elang pria itu, bagaimanapun situasinya. Peraturan ketiga, jangan terlalu sering menghela napas atau melirik ke arah lain. Peraturan keempat, senyum senatural mungkin. Dan peraturan terakhir, improvisasi keadaan layaknya ia seorang istri yang begitu mencintai suaminya.

Sebagai istri dari intel militer, setidaknya Zira mengetahui cara agar Melvin tak terlalu mengintai dirinya. Meski dulu banyak sekali alat-alat yang Zira tak ketahui apa fungsinya yang Melvin pasang di ruang kerjanya, kamar dan tempat lainnya yang sering Zira tempati. Bahkan Melvin sering sekali menyadap ponselnya.

Namun, Zira pernah memprotesnya.

“Kamu ngintai aku, Mel? Kamu ngesadap hp aku? Kamu yang pasang kamera-kamera kecil di semua tempat yang sering aku tempatin?” tanya Zira penuh tuntutan saat pernikahan mereka baru berjalan tiga hari.

Ada yang ganjil saat Zira merasa isi ponselnya berubah sendiri, seperti kontak teman-teman pria yang menghilang, akun sosial medianya yang dibatasi—bahkan foto-foto yang pernah Zira post menghilang sendiri.

Bukan hanya itu saja, Melvin sering mengintrogasinya kemana ia pergi dan saat Zira menjawab bohong, Melvin akan menatapnya dengan lekat seolah-olah pria itu tahu yang sebenarnya dan semakin mengekang Zira secara tak langsung. 

“Buat jaga-jaga,” balas Melvin dengan santai yang berhasil memancing amarah Zira.

“Jaga-jaga apa?! Yang ada kamu enggak ngehargain privasi aku sama sekali!” bentak Zira.

“Aku bakal sering dinas di luar kota, aku harus tau setiap aktivitas kamu.”

“Aku yang seharusnya gitu ke kamu! Kamu enak-enakan mantau aku pake alat-alat itu, sedangkan aku gak pernah bisa mantau kamu. Dulu pas kamu sekolah intel, kamu enggak kayak gini. Sampai sekarang juga kamu gak pernah nyerita pengalaman kamu selama sekolah intel yang kata kamu selalu rahasia, rahasia, dan rahasia!”

“Aku gak bisa sembarangan nyeritain pengalaman aku ke orang lain.”

Zira melongo. “Aku istri kamu, Melvin! Kamu anggap aku orang lain?!”

“Gak gitu, Ra. Nanti kamu keceplosan nyerita ke teman-teman kamu.”

“Berarti kamu gak percaya sama aku!”

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang