Smara terperanjat saat halilintar menggelenggar, ia yang sedang menonton series Sweet Home di televisi itu bergidik ngeri. Judulnya Sweet Home, tapi di setiap episodenya tak ada adengan sweetnya sama sekali.
"Gak belajar? Kok malah nonton film sadis?" tanya Melvin dari arah dapur, ia sedang mendidihkan air.
Smara mendengus, mengapa Melvin ada di rumah? Biasanya juga tak ada. Lagipula soal belajar, Smara tahu dua hari lagi ujian, tapi apa salahnya mencari hiburan terlebih dahulu sebelum ia stres.
Smara kembali fokus menonton series itu, tapi lagi-lagi ia terkejut. Bukan karena halilintar, tapi karena suara keras seperti sesuatu yang menubruk pintu rumah.
Smara menjeda tontonannya. Matanya saling tatap dengan Melvin yang sama-sama sadar dengan suara keras yang berasal dari pintu rumah. Tanpa berkata Melvin mengisyaratkan Smara diam dan jangan banyak bergerak, pria itu masuk ke dalam kamar bukan ke pintu rumah asal suara itu berasal.
"Dih, penakut." Smara bangkit dari sofa, ia berjalan santai mendekati pintu rumah. Smara bahkan dengan berani menyingkap gorden dan melihat tanpa takut apa yang terjadi di luar rumahnya.
Smara melihat ada seseorang yang berdiam diri di depan pintu rumah sambil menunduk, jidatnya tertempel di pintu. Smara tak bisa melihat wajahnya karena tertutup oleh rambut wanita itu.
"AAAA." Smara berteriak saat ia memberanikan diri membuka pintu sehingga sosok wanita berwajah pucat yang basah kuyup itu terperanjat kaget.
"Smara!" seru Melvin, pria itu berlari ke ruang tamu dengan pistol yang ia bawa dari kamar. Melvin nyaris menarik pelatuk yang membidik wanita basah kuyup yang sedang berdiri di hadapan Smara.
"Ayah jangan tembak ibu!" jerit Smara, ia panik melihat Melvin yang memegang pistol dan membidik Alya, wanita berambut panjang dengan wajah pucat dan basah kuyup itu.
"Alya?" panggil Melvin, kakinya mendekati dua wanita itu.
Alya hanya tersenyum semampunya, ia menggigil kedinginan karena kehujanan. "Ibu ganti baju dulu, ya," ujarnya kepada Smara.
"Tunggu." Melvin menahan bahu Alya dan membalikkan badan wanita itu. "Diserang sama siapa?" tanyanya saat melihat pipi Alya lebam dan sudut bibirnya ungu.
"Kita udah terbiasa terluka setiap tugas," balas Alya.
"Kamu hari ini pulangnya, berarti misinya selesai kemarin. Luka kamu keliatan masih baru dan basah. Siapa yang nyerang kamu pas pulang ke sini?"
Alya menggeleng, sudah menjadi hal yang biasa saat Melvin menanyakan kabar setiap ia pulang tugas. Bahkan kata partner saja tak bisa mencangkup hubungan mereka yang memang dekat, terlalu dekat malah.
"It's okay, I'm fine." Alya berlari memasuki kamarnya dan Melvin. "Smara kamu lagi masak apa? Airnya itu udah mendidih," teriak Alya sebelum masuk ke kamar.
Smara diam-diam tersenyum, momen langka ia melihat ayahnya yang mengkhawatirkan ibunya.
"Smara, bantu Ayah masak mie, yuk." Melvin merangkul putrinya setelah mengunci pintu rumah. "Kita dinner bareng-bareng."
Antara mau tak mau Smara membantu ayahnya, ia memotong sawi, bawang, dan cabai. Tak jarang Smara tertawa diam-diam melihat Melvin yang meringis karena terciprat air panas dari panci saat memasuki potongan sawi, bawang, dan cabai.
"Melvin, jangan nyimpan pistol sembarangan. Nanti Smara iseng mainin, bahaya. Apalagi ini pistolnya full peluru," ujar Alya setelah membersihkan diri. Wanita itu mengamankan pistol yang sempat Melvin pakai untuk membidiknya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...