39 - Leg-Up

220 30 9
                                    

"Aku juga gak tau apa Melvin dan Gino masih sama kayak dulu atau enggak. Kamu tau sendiri Melvin dan Gino dulu kayak gimana, Ra. Both of them love you... so much. Maybe finally, they will find you."

Both of them love you... so much.

Mereka tidak mencintai Zira. Mereka terobsesi.

Melvin terobsesi dengannya sampai ketika dulu SMA, ia sudah menjadi tunangannya dengan bersembunyi di balik kata perjodohan.

Gino terobsesi dengannya karena ia adalah sahabat kecilnya yang pernah menghilang.

Maybe finally, they will find you.

Sampai sekarang mereka belum menemukannya. Ini hari pertama di minggu kedua dari kepergiannya.

"Apa masalahnya masih kayak dulu kita SMA, Ra? A love triangle? Meskipun kamu udah nikah sama Melvin?"

Iya. Meski sekarang ada yang sedikit berbeda.

Alya.

Wanita yang masuk dalam kehidupan Melvin dan Zira. Wanita yang....

"Ra, kamu bisa jawab telepon itu?!" Dari arah dapur, Nidya berteriak.

Zira mengerjap, ia tak sadar telepon di dekatnya berdering.

"Halo?" sahut Zira ketika gagang telepon itu menempel di telinganya.

Zira meraih secarik kertas dan pulpen, mencatat alamat. Si penelpon memesan kue dan minta diantarkan sekarang juga.

"Siapa?!" sahut Nidya dari dapur.

"Customer!" Zira menjawab sambil mengemas kue pesanan. "Aku antar pesanan dulu, Nid!"

"Sekarang banget?" Nidya datang mendekati wanita itu.

Zira mengangguk. "Pembeli terakhir hari ini. Aku pergi, kamu tutup toko."

"Aku temani." Nidya melepas apronnya dan melemparnya ke meja.

"Nggak usah."

"Kamu emang tau dimana tempatnya?"

"Aku udah seminggu lebih di kota ini, aku tau." Zira tersenyum meyakinkan. "I'll be fine. Udah kamu selesain adonan buat besok terus tutup toko."

Nidya menghela napas berat. "Oke. Kalo ada apa-apa, telepon."

Zira dengan senang hati menghirup oksigen malam yang dingin, lalu masuk ke dalam taksi. Satu tangannya memegang paper bag sedangkan satu tangan yang lain sengaja ia masukkan ke dalam saku mantelnya.

"Nomor sembilan." Usai keluar dari taksi, Zira memicingkan mata sambil menatap deretan bagunan di pinggir trotoar.

Bangunan bernomor sembilan yang dimaksud adalah sebuah klub malam. Terlihat gadis-gadis yang sedang berkumpul di depan klub itu.

"Itu kue pesanan saya, bukan?" sahut salah satu gadis ketika Zira menatap bingung bagunan nomor sembilan itu.

"Pesan red velvet cake?" tanya Zira.

Gadis itu tersenyum, ia menyerahkan beberapa lembar sebagai bayaran. Setelah itu, sekelompok remaja beranjak dewasa itu masuk ke dalam klab malam. Gadis-gadis itu terlihat hendak merayakan acara ulang tahun di dalam klub.

Masa-masa remaja yang menyenangkan.

"Cantik."

Entah pujian atau panggilan. Namun, Zira sedikit sensitif dengan kata Cantik sebab ada seseorang yang sering memanggilnya dengan sebutan Cantik dulu.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang