18 - Setelah Lama Tak Jumpa

233 36 6
                                    

Lengkungan di bibirnya tak pernah pudar, binar matanya memancarkan semangat yang membara, impian kecilnya perlahan teraih; diantar sekolah oleh kedua orang tuanya setiap hari. Smara menatap Melvin dan Alya, mereka berperan menjadi orang tua yang Smara inginkan selama ini.

"Smara, Ayah kayaknya nggak bisa nunggu kamu ujian. Ayah ada urusan sebentar, nanti Ayah jemput kamu agak telat." Melvin berujar sambil merapikan rambut putrinya.

"Ayah sama Ibu kalo ada urusan sampai nggak bisa jemput Smara juga gapapa. Smara bisa pulang sendiri, lagipula udah hampir seminggu ini Ayah sama Ibu antar jemput Smara. Terus juga cuti kalian udah hampir habis. Kalian pasti harus siap-siap kembali kerja, kan?"

Melvin menggeleng. "Nggak, Ayah pasti jemput kamu. Al, kamu nunggu Smara ujian, kan?" Melvin menatap Alya yang akhir-akhir ini tak banyak bicara di hadapan Smara.

Alya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

Melvin membungkukan tubuhnya agar sejajar dengan Smara. "Ini terakhir kamu ujian. Seudah ujian kita bakal pergi ke—"

"Ke mana?" potong Smara layaknya anak kecil yang tak sabar akan diajak piknik.

"Rahasia." Melvin terkekeh. "Sana masuk, ujiannya bentar lagi dimulai."

Smara menggembangkan senyum lebar, ia memeluk erat Melvin. Dalam hati ia berdoa agar keluarganya selalu bersama seperti ini. Alya tersenyum simpul saat putrinya juga memeluk erat dirinya.

"Doain Smara semoga lancar ujiannya," ujar Smara. Setelah itu, ia melangkah mundur agar bisa memperhatikan kedua orang tuanya yang melambaikan tangan sambil tersenyum.

Smara menghilang di belokan koridor, membuat senyum kedua orang dewasa itu juga menghilang seketika. Alya segera melangkah mendekati halte yang dijadikan tempat menunggu selama Smara ujian.

Melvin menuturi Alya dan berkata, "Aku ke rumah mendiang ayah dulu, terus bawa mobil biar kita bisa sekalian—"

"Apa rencana kamu?" potong Alya.

"Ngajak Smara jalan-jalan. Dia udah berjuang belajar sampai larut malam buat ujian. Kita harus mengapresiasi usaha dia selama ini."

"Bukan rencana itu, tapi rencana kamu kedepannya soal kita atau soal kamu dan Zira. Smara tau kamu nikah sama Zira, sikap perhatian kamu kayak gini cuma buat nebus kekecewaan Smara, 'kan? Sampai kapan? Jangan buat dia mengawang tinggi dengan ekspetasi orang tuanya bakal bersama, apalagi menikah. Beri dia realita bahwa kita nggak bakal bisa bersama."

"Kita bisa bersama—"

"Selagi kamu belum gugat cerai Zira, kita nggak bakal bisa bersama."

Melvin menghela napas, perkacapan antara dirinya dan Alya akhir-akhir ini tentang perceraian dan pernikahan sesuai dengan impian putri mereka. Dua topik hangat itu selalu terbahas di sela-sela mereka bersama tanpa ada Smara. Dan topik perceraian juga sempat terbahas kemarin di kantor Zira.

Alya dengan keinginan Melvin dan Zira bercerai agar ia bisa mewujudkan keinginan Smara dan Melvin yang plin-plan dengan keputusan mana yang harus ia pilih; bercerai dengan Zira dan tidak menepati amanah kedua orang tuanya atau mengabulkan keinginan putri kandungnya untuk membangun keluarga dengan Alya.

"Aku pergi dulu, Al," pamit Melvin.

"Kamu ragu sama keputusan mana yang harus kamu realisasikan atau kamu memang nggak mau mewujudkan keinginan putri kita dan sebagai gantinya kamu bersikap baik ke Smara sebelum kamu jatuhin putri kamu sendiri?" Pertanyaan Alya membuat Melvin bergeming di tempatnya.

Bahu Melvin menurun mengikuti hembusan napas yang keluar dari hidungnya. "Untuk hari ini aja kita berhenti bahas itu. Ada rencana yang lebih pantas kita bahas, kita akan pergi kemana setelah Smara ujian? Apa kamu ada rekomendasi tempat?" tanyanya.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang