Alya tersenyum cerah menatap putrinya yang baru keluar kamar sembari mengucek mata. Aroma pasakan yang tercium wangi, memancing putrinya mendekati ibunya di dapur.
Alya menyimpan dua piring berisi pasakannya di meja makan dan merapikan rambut putrinya. "Selamat pagi, putri Ibu," sapanya.
Alya menatap sedikit cemas Smara, takut putrinya kembali meledak-ledak seperti kemarin. Namun, tidak. Smara dengan santai membasuh wajah di wastafel dan duduk di kursi makan, mulai menyatap sarapan buatannya.
Obat yang disuntikkan dokter kemarin mungkin sudah berefek baik pada Smara.
"Ibu nggak makan?" tanya Smara.
Alya gelagapan dan langsung menyendoki nasi ke mulut. "Gimana rasanya, Ra? Enak?"
Smara terdiam lama dengan alis mengerut. "Nasih goreng ini rasanya familier. Kayak pasakan ayah."
Napas Alya langsung tercekat. Padahal ia tak pernah mencoba nasi goreng buatan Melvin.
"Ayah juga pernah masak nasi goreng, rasanya kayak gini. Sedikit keasinan," lanjut Smara dengan santai.
Alya meletakkan sendok dengan perlahan, wajahnya memucat. Bayang-bayang Smara berteriak, menangis, dan tertawa seperti orang gila membuat Alya menatap putrinya dengan gamang.
"Smara, nggak apa-apa?" tanya Alya cemas.
Smara mengendikkan bahunya. "Nggak apa-apa, masih tetap enak dan layak dimakan kok nasi gorengnya."
Bukan itu yang Alya maksud. Namun, melihat wajah putrinya yang baik-baik saja, Alya rasa Smara telah kembali. Semoga saja kejadian hari kemarin tidak pernah terulang lagi.
Smara menatap ibunya. "Ibu mau ke mana pagi-pagi pakai baju serba putih? Udah kayak perawat aja," tanyanya.
Alya tersenyum. "Ibu harus keluar, ada urusan sebentar. Nggak apa-apa kamu sendiri di rumah?"
Smara kembali menyendokkan nasi ke mulutnya dan mengangguk. "Biasanya juga Smara sendiri di rumah," sahutnya.
Alya menyelesaikan sarapannya dengan cepat, lalu mengecup lama kepala putrinya. "Ibu pergi dulu, ya, Ra. Siang nanti Ibu udah pulang kok. Janji."
Obat yang disuntikkan kemarin mungkin membuat Smara lupa kejadian kemarin. Alya tersenyum lega.
Smara telah kembali seperti dulu...
Smara mengangguk, membiarkan sang ibu meninggalkan rumah. Baru saja Alya mencapai pintu rumah, suara Smara menghentikannya.
"Bu, ayah udah cerain Zira belum?" tanya gadis itu dengan tenang, tapi menusuk paru-paru Alya.
...atau mungkin kembali seperti hari kemarin?
* * *
Dengan pakaian yang sudah serba putih serta masker yang menutupi sebagian wajah, Alya menyelinap diam-diam ke laboratorium rumah sakit, mencari hasil tes DNA Reon.
Masih terpikirkan pertanyaan Smara sebelum ia berangkat. Pertanyaan gadis itu tak ia jawab. Alya langsung pergi.
Karena Alya belum tahu jawaban atas pertanyaan putrinya...
Laboratorium itu berbentuk persegi panjang, cukup luas. Ada dua orang yang Alya lihat sedang mengamati sesuatu menggunakan mikroskop elektron. Tampak sibuk dan tak menyadari rekan palsunya yang baru saja datang.
Alya menjauhi dua orang tersebut karena yang ia cari adalah amplop hasil tes DNA yang dipastikan tidak berada di tempat praktik tersebut.
Alya berbelok ke ruangan yang lebih kecil, tak ada siapapun. Dalam ruangan itu berdiri rak-rak tinggi, tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting hasil penelitian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...