41 - Dua Orang yang Tak Mungkin

210 36 25
                                    

Melvin memiliki daya tarik tersendiri. Tubuh tinggi dan punggung yang lebar, mata yang tajam, rahang yang keras, dan kedua kaki yang melangkah dengan tegas. Itu semua berhasil membuat orang-orang sekitar menoleh ke arahnya cukup lama.

Blitz kamera terlihat, meski tak terlalu ramai. Suara-suara kamera yang memotret terdengar.

Zira menunduk, menggenggam erat ujung syal yang terpasang di lehernya. Wanita itu merasa tak nyaman dengan orang-orang yang memotret dirinya dan Melvin diam-diam dan mungkin mereka akan menyebarkannya menjadi berita di media masa.

Zira berusaha jaga jarak dengan Melvin, meski itu adalah hal yang sia-sia sebab ia dan Melvin keluar dari kamar hotel yang sama dan di saat itu pula orang-orang mulai memotret mereka.

"Aku lupa gak pakai topi," bisik Melvin.

"Apakah itu Nyoya Zira?" celetuk salah satu orang di dekat mereka.

Zira ketar-ketir, ada yang mengenalnya. Zira mempercepat langkahnya di lobi hotel sambil menunduk.

"Sini." Melvin merangkul wanita itu dan menyembunyikan wajah Zira di dalam jasnya. Dengan kepala yang bersandar di dada Melvin, Zira dapat merasakan detak jantung pria itu yang berdebar sangat kencang.

Melvin membawa wanita itu berlari hingga basemen hotel. Pria itu membukakan pintu mobil dan menyuruh Zira masuk.

Zira tersenyum tipis. "Makasih, Mel. Soal punggung kamu, apa masih sakit?" tanyanya sedikit malu karena harus mengingat kembali kejadian kemarin malam.

Melvin menarik seatbelt di pinggir Zira, lalu memasangkannya untuk wanita itu. "Masih. Tapi, gapapa, asal..."

Zira menatap Melvin yang sedang menatap ke arah perutnya. "Kalo yang di sana berhasil jadi, jaga calon anak kita, ya?" pinta pria itu.

Zira menunduk, mencoba menyembunyikan pipinya yang bersemu. Melvin mengusap puncak kepalanya dan mengecupnya.

"Berangkat sekarang, Mel, kalau mau ketemu anak sulung kamu."

Zira menatap Melvin yang tersenyum lebar, tampak semangat. Tak lama mobil yang mereka tumpaki meninggalkan basemen.

Selama perjalan, Zira memperhatikan Melvin. Bagaimana pria itu menatap jalanan, membelokkan setir dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain menggenggam tangannya, sesekali pria itu menatap balik Zira dan tersenyum.

"Diskusi, Ra. Itu cara cari solusinya."

Diskusi memerlukan komunikasi. Dan komunikasi bisa berupa lisan atau nonverbal berupa sentuhan. Zira dan Melvin baru saja mencoba.

"Kembali mencari, mengingat, dan menemukan apa yang dulu bisa membuat kami saling jatuh cinta. Sehingga kami akan terus saling jatuh cinta."

Mungkin ini yang Nidya maksud. Hanya dengan menatap wajah tenang Melvin, mendengar suara Melvin, mendapatkan perhatian Melvin, merasakan detak jantung Melvin dan diperlakukan layaknya pasangan yang membuat Zira kembali jatuh cinta kepada pria itu.

Mudah dibuat jatuh cinta, juga mudah dibuat percaya. Itu kelemahan Zira.

Dulu semasa mereka remaja, Melvin sempat merahasiakan bahwa ia bukan sekolah angkatan militer, melainkan sekolah intelijen.

Dulu sepulang Melvin tugas dari Beirut, di rooftop rumah sakit, Melvin turun dari helikopter sambil mengendong bayi perempuan dan menuntun seorang wanita muda yang mengaku-ngaku calon istri Melvin.

Melvin mengatakan mereka bukan siapa-siapanya, hanya prank. Begitu menyedihkan dan menyakitkan ketika Zira mengetahui bahwa prank itu adalah sebuah kebenaran yang Melvin tutupi.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang