44 - Take Off

234 35 7
                                    

Tak pernah ada atmosfer yang pasti di rumah Gino. Selalu berubah-ubah.

Dingin,

hangat,

sepi,

Pagi-pagi, Zira sudah duduk di bangku meja makan. Wanita itu baru selesai masak.

Gino tersenyum, meski hatinya tak lagi hangat ketika menatap Zira. "Ra," sapanya.

Zira hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis.

...dan canggung.

Tak ada pertanyaan atau kalimat basa-basi untuk bertukar suara dengan wanita yang pernah dinyatakan hilang itu, Gino langsung memakan sarapannya.

"No." Zira memulai perbincangan.

Dering ponsel Gino yang menyahut.

Terpaksa Gino menjatuhkan sendok makannya dan mengisyaratkan kepada Zira ia akan menjawab telepon dulu. Urusan bisnis.

Gino berdeham usai mematikan sambungan telepon. "Gimana, Ra?"

Baru saja mulut Zira terbuka, hendak menghasilkan vokal suara, tetapi urung.

"Bentar, Ra." Gino menatap ponselnya, tepat ke log panggilan.

Ada nama Lya di log panggilan, tepat malam tadi. Apakah kemarin ia menelepon wanita itu?

Gino teringat ia tadi terbangun di kamar tamu tanpa baju atasan dan bau alkohol menyerebak samar. Kemarin sepertinya ia mabuk.

Yang membuat Gino penasaran hingga dadanya menghangat, telinganya memerah, dan tersenyum kecil adalah apa yang ia bicarakan dengan Alya di telepon kemarin? Apa ia mengatakan kata-kata aneh kepada wanita itu saat mabuk?

"Aku harus berangkat sekarang, Ra." Gino menyimpan ponselnya di saku jas, ia menegak sedikit air, dan pergi meninggalkan Zira sendirian di ruang makan tanpa sempat mendengar penjelasan Zira.

* * *

Beberapa koper sudah Smara keluarkan dari rumah. Ia sudah siap pindah, meski ibunya dari kemarin malam tak kunjung pulang.

Gadis itu duduk manis di bangku teras sambil memikirkan kota mana yang menjadi tempat tinggalnya nanti, pasti kota itu akan menyenangkan, ia akan memiliki banyak teman baru. Smara banyak berpikir yang positif, daripada harus mengingat kejadian kemarin malam dan Reon.

Namun, kedatangan mobil hitam mengilat seolah mengingatkan Smara ke kejadian lama di mana ia menatap kagum seorang pria berbalut jas necis yang membuat pria itu terlihat keren. Pria yang ia anggap sugar daddy.

"Papi G," panggil Smara pelan.

Gino tersenyum juga tampak bingung. "Kamu mau ke mana, Smara?"

Alih-alih menjawab, Smara justru menangis. Terputar ulang semua ingatan kemarin malam di mana ia sendiri menjadi saksi pertengkaran hebat orang tuanya.

Gino menenangkan gadis itu sambil mendengarkan baik-baik cerita gadis itu, meski Smara tersendat-sendat menceritakannya.

"Obat jantung?" Gino menatap tabung obat yang Smara berikan yang katanya menggelinding dari saku jaket Melvin kemarin.

"Ibu kamu sekarang di mana?" tanya Gino. "Rumah sakit?"

Smara menggeleng tak tahu.

Satu sentuhan lagi, Gino akan menelepon Alya. Namun, suara langkah dari pagar rumah terdengar membuat pria itu menyimpan kembali ponselnya.

"Itu ibu," ujar Smara, gadis itu menghapus air matanya.

Saat Smara berusaha tampak biasa saja dengan cara berhenti menangis, gadis itu memperhatikan Gino yang berlari mendekati ibunya. Pria itu menyentuh kedua bahu Alya, menatap lekat mata hampa ibunya, dan bertanya-tanya khawatir.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang