Kebanyakan menunda akan berakhir tak mudah.
* * *
Ruang kaca itu kembali hening, suara ketikan di keyboard komputer Zira tak terdengar lagi saat ada tamu yang masuk.
Manik mata Zira menatap sosok pria dengan outfit gelap, manik mata abu pria itu menatap balik dengan lembut.
"Melvin." Zira bangkit dari duduknya, jantungnya berdebar keras. Sudah dua tahun suaminya itu pergi berangkat tugas dan baru kembali hari ini.
Melvin tersenyum sebisanya, tiap kali ia melihat wajah Zira, selalu ada rasa sesak yang menghimpit dadanya.
Sudah enam belas tahun wanita cantik itu setia kepadanya, padahal ada kebohongan yang belum Melvin ungkap.
Zira memeluknya erat dengan tangis yang terdengar, membuat Melvin semakin merasa bersalah.
Entah apa yang akan terjadi jika Melvin memberi tahu kebohongan yang selama ini terpendam, mungkin Zira akan kecewa atau bahkan meminta cerai.
"Terima kasih doanya, Ra. Aku pulang selamat lagi." Melvin mengusap punggung wanita itu.
Zira masih sesenggukan, ia menatap wajah Melvin. Raut wajah lelahnya terlihat, tapi tak pernah melunturkan karisma pria itu.
"Maaf," lirih Zira yang masih meneteskan air mata.
Melvin mengerutkan alisnya. "Maaf buat?"
"Andai aja aku dikaruniai anak, pasti setiap kamu pulang tugas bisa main sama anak kamu–" Zira tak melanjutkan perkataannya saat wajahnya ditangkup oleh kedua telapak tangan kekar Melvin, pria itu mencium kedua matanya.
"Aku bisa liat kamu setiap pulang tugas aja udah bersyukur, Ra." Melvin memaksakan senyum, meski keinginan untuk mempunyai keturunan dari Zira belum terkabul, ia tetap menyanyangi wanita itu.
Zira menggeleng. "Aku gagal, Mel. Maaf."
"Jangan ngomong kayak gitu." Melvin meraih kedua tangan Zira. "Mungkin belum waktunya."
Zira menarik napas. "Hari ini aku mau libur, aku mau ngehabisin waktu sama kamu." Zira berjalan ke meja kerjanya sambil membereskan barang-barangnya dan mematikan perangkat kerjanya.
Beban dipundak Melvin selalu bertambah seiring waktu berjalan, ia selalu tak siap menceritakan semuanya kepada wanita cantik itu.
Melvin tak mau manik mata biru itu kehilangan binar kebahagiannya dan senyum manis Zira hilang begitu saja saat Melvin menceritakan apa yang terjadi enam belas tahun yang lalu.
Di mata Melvin, Zira sosok wanita yang sempurna. Setia, pintar, kuat dan cantik. Zira mau meneruskan perusahaan alm. ayahnya, Zira mau menunggu Melvin selama menempuh pendidikan dan menunggu setiap ia bertugas, Zira juga tak melirik pria lain selama Melvin tak ada.
Hanya Melvin yang tak tahu diri, ia sudah membohongi dan mengecewakan wanita itu.
Zira mengecup sekilas bibir Melvin. "Kejar aku," pinta Zira sambil berlari keluar ruangannya.
Tawa Zira terdengar di sela-sela ia berlari dan dikejar oleh pria itu. Hal yang paling disukai Zira adalah dikejar Melvin, mereka selalu merasa masih remaja.
Jantung Zira berdebar, ia selalu merasa jatuh cinta lagi setiap kali melihat wajah tampan Melvin.
"Lari kamu jadi lelet," kata Melvin yang yang berhasil menangkap Zira, ia memeluk wanita itu.
"Lelet, tapi kenapa kamu baru bisa nangkapnya di sini?" Pipi Zira memanas. "Lepas, Mel ini tempat umum." Perasaan Zira campur aduk, ia malu ditatap oleh bawahannya yang berlalu-lalang.
"Ini wilayah kekuasan kamu, bukan tempat umum." Melvin memejamkan matanya, ia menghirup wanginya rambut Zira yang sudah sangat lama ia tak cium.
Tanpa Zira sadari, mata Melvin memerah. Pernikahan mereka baru berjalan empat belas tahun, itu waktu yang lama, tapi mereka jarang sekali punya waktu bersama.
Melvin sibuk dengan pekerjaannya yang waktunya tak menentu, hingga sampai bertahun-tahun baru bisa pulang tugas.
Suara tepuk tangan terdengar dari belakang Zira dan Melvin. "Dramatis!" seru orang itu.
Melvin yang mengenali suara itu langsung melepaskan pelukan dan berbalik menatap orang yang masih bertepuk tangan dengan sudut bibir yang terangkat sebelah.
"Smara," lirih Melvin dengan mata yang terbelalak.
Sama halnya dengan Melvin, Zira pun terkejut dengan Reon –putranya yang ada di samping anak gadis itu.
Smara membuka halaman majalah tua yang ada di tangannya, lalu melempar kasar majalah itu ke lantai.
"Impresif. Jijik banget liatnya." Smara menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh hambar, ia menghunus Melvin dengan tatapan kecewa.
Reon menatap bundanya, tak tahu harus berkata apa. Selama ini, Reon tak dekat dengan bundanya, tapi membaca majalah tua milik Smara dan melihat langsung bundanya yang dipeluk pria lain, membuat pertanyaan semakin membeludak di pikirannya.
Keberadaan Zira yang selalu sibuk juga masih sering menjadi pertanyaan dan sekarang ...
"Smara kamu ... gak sekolah?" tanya Melvin, terkejut dengan putrinya yang ada di hadapannya.
"Kenapa harus sekolah kalo sekarang ada tontonan panas di sini?" tanya balik Smara. "Ayah kaget aku ngeciduk Ayah? Jadi ini teman tapi menikah Ayah?" Smara maju selangkah sambil mengangkat tinggi dagunya sambil menatap Zira dengan tatapan rendahan.
Debaran jantung Zira menghilang ketika mendengar gadis berseragam SMP itu menyebut Melvin dengan sebutan ayah.
Zira diam tak mau menatap Reon putranya, kegelisahan menyapa raut wajahnya.
Di lubuk hati Zira, ia bertanya-tanya mengapa putranya bisa ada di sini, ia tak mau Melvin mengetahui siapa Reon.
Zira hanya ingin hubungannya dengan Melvin berjalan baik-baik saja, seperti sedia kala.
"Smara ...." Melvin kehabisan kata, tidak tahu harus bagaimana. Ia tak ingin menyakiti hati dua wanita yang ia sayangi itu, meski Melvin tahu semakin lama ia menunda akan semakin sulit ke depannya.
Smara menanti alasan apa yang akan keluar dari mulut ayahnya, tapi sampai sekarang perkataan ayahnya masih menggantung.
Smara terkekeh sumbang, kakinya melangkah ke luar gedung dengan kecewa yang berlipat-lipat lagi.
Reon memungut majalah yang tadi Smara lempar, lalu menyusul cewek itu.
Sebelum pergi, ia menatap bundanya yang sama sekali tak menyapanya.
Entahlah, Reon merasa bundanya itu tak pernah menganggapnya hadir di bumi.
Kaki Melvin bergerak hendak mengejar Smara, tapi lengannya tertahan oleh Zira.
"Dia anak kamu, Mel?" tanya Zira yang sama-sama dilanda kecemasan dengan kehadiran Reon.
Satu hal yang pasti akan terjadi.
Melvin juga akan bertanya hal yang sama seperti pertanyaan yang dilontarkan dirinya sekarang.
•
•
•
•
•
Selamat siang 🌤🌫
Makasih yang udah nyempetin waktunya buat baca chapter ini 😍
Jangan lupa vote, komen, dan rekomendasikan ke temen-temen 🌛
Langsung cus ke part selanjutnya kuy 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...