27 - Tak Padam

221 32 23
                                    

"Ibu dulu pernah berjuang buat ngehancurin pernikahan mereka. Ibu nya-ris pernah wujudin impian aku! Zira udah gugat ayah kemarin malam! Ibu jangan dulu nyerah!"

"Ibu, biar aku yang terusin perjuangan Ibu!" Smara menepis lengan ibunya. "Smara nggak bakal gagal! Smara nggak boleh gagal! Ibu pasti bisa nikah sama ayah. Smara yakin kita bertiga bisa hidup bahagia bersama, selamanya."

"K-karena aku anak ayah, Bu," ucap Smara bergetar. "Aku nggak boleh gagal."

"AKU NGGAK BOLEH GAGAL!" teriak Smara. "AKU PASTI MENANG!"

Alya bangkit, ia mengusap pipinya dengan kasar. Dari kaca jendela, Melvin mulai meninggalkan pekarangan rumah. Teriakan-teriakan Smara mulai mereda, gadis itu kini sedang bergumam sendiri diiringi ketawa kecil.

Sebelum kehilangan jejak Melvin, Alya lekas mengganti bajunya dengan warna serba hitam beserta masker untuk menutupi sebagian wajahnya, tak lupa sarung tangan karet yang selalu tersedia di saku jaketnya.

Tangan Alya terkepal penuh. "Kamu benar, Ra. Ibu jangan dulu nyerah. Biar ibu yang ngelanjutin perjuangan ibu. Ibu nggak boleh gagal lagi. Kita nggak boleh gagal, Ra."

Ambisi itu tidak boleh padam.

Layaknya kobaran api yang besar sedang diterpa angin.

Sukar padam.

Melainkan semakin berkobar dan menjalar.

Melvin sudah memasuki rumah sakit, sedangkan Alya baru saja turun dari taksi di halaman rumah sakit. Mata Alya memicing ketika melihat Reon dan wanita bermasker-yang ia tebak Zira-tergesa-gesa masuk ke dalam taksi.

Bahkan Zira menggunakan pakaian kasual, bukan pakaian khas rumah sakit.

"Buru-buru?" gumam Alya sambil menghafal plat nomor taksi dan nama perusahaan yang menaungi kendaraan umum tersebut. "Melvin baru aja masuk, sedangkan mereka mau kabur?"

Kenapa Zira dan Reon mau kabur?

Alya menyeringai. Sepertinya ada sesuatu yang menarik.

Alya tidak mengikuti ke mana taksi itu pergi. Melainkan pergi mencari ruang CCTV, ide yang selalu menjadi senjata utamanya. Ia harus mencari tahu alasan Zira dan Reon kabur.

Alya mengeluarkan sarung tangan karet dari saku jaketnya dan memakainya sambil mengintip diam-diam dua petugas yang sedang memantau CCTV di ruang monitor. Salah satu dari mereka sedang memasukkan password. Deretan angka.

Alya bergerak cepat untuk melumpuhkan dua petugas CCTV tersebut. Salah satu petugas tersebut berhasil membuat sudut bibir Alya berdarah.

Dua petugas itu pada akhirnya terkapar lemah, pinsan setelah Alya memukul telak belakang kepalanya. Pinsan untuk beberapa menit, tak akan lama.

Alya menahan napas selama mencari rekaman CCTV ruang rawat Zira. Dan ia hanya memutar rekaman itu satu kali.

Tak ingin berlama-lama, ia segera menghapus permanen seluruh rekaman CCTV dan mematikan seluruh CCTV di rumah sakit itu, supaya jejak kedatangannya ke rumah sakit tidak terlihat. Alya juga memutus kabel-kabel penghubung CCTV dengan monitor. Merusaknya.

Alya sama sekali tak meninggalkan jejak, sidik jari pada benda-benda yang ia sentuh saja tidak ada karena ia menggunakan sarung tangan karet.

Ketika sudah keluar dari ruang CCTV, Alya langsung membuang masker hitamnya dan kedua sarung tangan karetnya yang sedikit berlumur darah dua petugas tadi ke tong sampah. Terdengar langkah kaki terburu-buru, secepat mungkin Alya meninggalkan kawasan ruang CCTV tersebut.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang