Smara senang saat Gino dan Alya minggu lalu meneleponnya melalui panggilan video dan memberi kabar bahwa mereka akan melangsungkan acara pertunangan.
Smara melihat ibunya memakai gaun putih dengan mute-mute berkilauan, gaun itu sangat cocok di tubuh rampingnya. Riasan tipis memoles wajah Alya. Wanita itu memilih tatanan cepol dengan rambut berlilit dengan sisi kanan terdapat headpiece keemasan bersulur bunga, menjadikan rambut Alya tak polos.
"Ibu cantik banget," puji Smara. Gadis itu juga memakai gaun putih, meski tak semewah Alya.
"Makasih, putri ibu yang paling cantik." Alya hanya tersenyum tipis.
Seharusnya yang terlihat bahagia hari ini adalah ibunya. Namun, sedari tadi Alya hanya berbicara seperlunya saja. Wanita itu cenderung banyak melamun menatap cermin besar di hadapannya.
"Ibu gak apa-apa, kan?" tanya Smara.
Alya mengangguk.
"Apa Ibu udah ikhlas?"
"Ikhlas untuk apa?"
"Ikhlas tinggalin ayah."
Ibunya kini terdiam. Dari raut wajah Alya yang terdiam seolah sedang berpikir, Smara tebak sedari tadi ibunya bukan memikirkan Gino ataupun pertungannya, melainkan memikirkan ayahnya. Melvin.
"Ibu bingung, Ra." Alya berujar pelan. "Ayah kamu udah cerai. Apa seharusnya waktu itu Ibu nunggu sebentar lagi saja, mungkin kami bisa menikah dan mewujudkan impian kamu?"
Smara menelan ludah. "Ibu menyesal?"
Alya tak menjawab.
Jemari Smara mengambil kedua tangan ibunya. Gadis itu tersenyum. "Ibu, tau apa impian terbesar aku?"
"Kamu pengin ibu sama ayah menikah, pengin akta kelahiran kamu ada nama ayahnya, pengin foto keluarga..."
"Ibu udah ngewujudin salah satu impian aku." Smara tak berhenti-hentinya memuji kecantikan ibunya dalam hati. "Kita udah punya foto keluarga."
Gadis itu menunjukkan foto Alya, Gino, dan dirinya ketika mereka berfoto bersama di meja makan. "Impian terbesar aku, pengin ibu bahagia. Smara bakal selalu setuju apapun keputusan Ibu, asalkan Ibu bahagia. Kalau Ibu lebih bahagia sama papih, pilih aja papih jangan pikirin impian lama Smara. Ibu harus bahagia."
Alya semakin terlihat elegan ketika satu air matanya menetes mengenai gaun putihnya yang berkilau. Wanita itu memeluk putri kesayangannya.
"Al."
Smara menguraikan pelukan, ia mengintip orang yang memanggil ibunya. Tak salah dan tak bukan, itu Melvin. Pria itu mengenakan jas hitam lengkap, seperti tamu undangan lainnya.
"Smara." Melvin tersenyum ke arahnya, pria itu mendekat hendak memeluk putrinya.
Namun, Smara justru melangkah mundur, ia memilih menggenggam tangan ibunya dan menatap ibunya seolah bertanya, "Ibu kenapa mengundang ayah?"
Melihat ayahnya, Smara selalu teringat Melvin yang menampar ibunya dan bertengkar hebat malam waktu itu. Tak pernah hilang ingatan ayahnya yang berbuat kasar kepada ibunya.
Alya dan Melvin saling tatap. "Smara, bisa duluan keluar? Ibu mau ngobrol sama ayah kamu," ujar Alya.
Smara memilih diam di tempat. Khawatir jika mereka bertengkar tiba-tiba.
Alya mengusap pipi Smara, wanita itu menatap putrinya. "Ibu gak bakal lama. Acaranya juga sebentar lagi dimulai. Tunggu Ibu di luar, oke? Jangan kasih tau papah, ya?"
Smara akhirnya mengangguk, ia keluar ruangan. Meskipun ia tak benar-benar meninggalkan ibunya, ia diam bersandar di pintu.
Menguping dan berjaga-jaga jika sesuatu terjadi di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Подростковая литератураKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...