4 - Hutang

449 112 89
                                    

Bertemu di waktu yang salah dan mengenal satu sama lain karena sebuah masalah.

* * *

Smara sayang, maaf ibu pergi gak pamit langsung sama kamu. Ibu ada misi, ini dadakan. Ayah kamu lagi cuti, jadi kamu di rumah gak sendirian. Doain ibu semoga misi ibu kali ini berhasil. Sehat selalu nak.

Selalu dan pasti seperti ini. Ibu yang pergi atau ayah yang pergi. Bahkan tak sekali dua kali mereka pergi di waktu yang bersamaan, menitipkan anak gadisnya kepada tetangga sebelah. Miris, bukan?

Smara menatap datar sticky note yang tertempel di pintu kamarnya. Tulisan ibunya itu membuat hatinya kecewa untuk sekian kalinya.

Saat umurnya dua belas tahun, ibunya mengatakan dengan sangat hati-hati bahwa pekerjaannya adalah seorang intel, sama seperti ayahnya.

Singkat, padat, dan tak jelas ibunya bercerita bahwa ia bertemu dengan ayahnya saat menempuh pendidikan dan berakhir seperti ini.

Ibunya sampai menyuruh Smara untuk tutup mulut soal pekerjaan mereka, jangan sampai orang lain tahu dan curiga.

Smara terkekeh, buat apa juga ia membeberkan pekerjaan orang tuanya yang tak ia banggakan. Pekerjaan yang meninggalkan keluarga demi negara.

"Pengecut." Manik mata cokelat Smara menatap sticky note. "Apa ibu gak siap jelasin soal kejadian kemarin, jadi ibu pergi gitu aja?"

"Jadi di sini rumah lo."

Smara terperanjat saat suara cowok di belakangnya terdengar tiba-tiba. Cowok tinggi dengan topi bucket hitam dan jas almamater berwarna biru dongker yang melekat di badannya sedang berjalan santai ke arah dapur.

"Reon." Mata Smara membulat. "Lo ngikutin gue?"

Reon tak mengubris pertanyaan Smara, ia duduk dengan santai di kursi ruang makan sambil menuangkan air ke gelas, lalu meminumnya hingga tandas.

Smara menarik napasnya, wangi kopi dari parfum Reon membuat ia mendekatinya. "Lo ngapain ngikutin gue?" tanyanya.

Reon tak menjawab, ia membuka tasnya dan mengeluarkan majalah tua punya Smara yang dijatuhkan di lantai gedung tadi.

"Majalah gue." Majalah itu ditarik oleh Reon saat cewek itu hendak mengambilnya.

Smara mengerutkan alisnya, ia baru saja kenal cowok itu beberapa jam yang lalu, tapi kenapa cowok itu sudah lancang sekali masuk ke dalam rumahnya, minum tanpa dipersilakan, tak mengembalikan majalah miliknya dan sekarang cowok itu menyodorkan buku tulis dan pulpen?

"Bikinin puisi," pinta Reon.

"Tinggal googling aja, sih, gampang. Kenapa harus minta bantuan gue?" tolak Smara ogah-ogahan.

Reon melirik tajam gadis di hadapannya. "Lo tau balas budi gak?"

Smara mengangguk. "Tau lah."

"Lo harus balas budi ke gue."

"Heh?! Emang gue hutang apaan sama lo?"

"Gue tanya sama lo. Tadi pagi lo bisa masuk gedung itu berkat siapa? Lo tadi minum es cokelat punya siapa? Majalah yang lo lempar tadi, dibawa ke sini sama siapa?"

Bahu Smara menurun, tatapannya semakin datar mengingat kejadian tadi. "Yang es cokelat gue ganti," ucap Smara dengan malas.

"Yang lo bisa masuk ke gedung tadi cuma bisa dibalas sama puisi." Reon berhasil membuat Smara masuk ke dalam jebakan.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang