Bocah lelaki yang tak pernah Smara duga keberadaannya kini sedang menatapnya tak jauh dari parkiran polres.
"Reon," panggil Gino.
Tubuh Reon semakin terlihat ketika mobil Zira beranjak pergi. Anak laki-laki itu sejak tadi bersembunyi di belakang mobil.
Gino mendekati Reon, bertanya-tanya bagaimana bisa laki-laki itu berada di sini. Bibir Reon tak kunjung terbuka, matanya terus memandangi Smara yang masih diam di tempat.
"Smara, itu Reon. Teman kamu." Rangkulan serta suara Alya menyadarkan Smara.
Gadis itu mengerjapkan mata, memutus kontak mata dengan Reon. Seandainya perkataan ibunya tadi bisa diperbaiki bahwa Reon bukanlah temannya, melainkan adiknya.
Bahkan sampai mereka berempat berada di satu mobil yang sama, Reon masih menutup bibirnya. Smara juga masih enggan berbicara dengan Reon yang duduk di sampingnya. Diam-diam Alya dan Gino melirik mereka dari spion di atas dashboard mobil. Hening dan terkesan canggung.
Mobil Gino berhenti di depan rumah Smara. Semuanya turun dari mobil, termasuk Reon.
"Selamat. Nyokap bokap lo menang," ujar Smara pelan yang ditujukan untuk Reon.
Laki-laki yang sedang jalan di depan Smara itu menghentikan langkah dan berbalik menatap gadis yang bersuara tadi.
"Re!" Smara memekik kaget ketika Reon tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan membawanya berlari menjauhi rumah.
Cengkeraman Reon begitu erat, seolah takut gadis itu akan terlepas. Reon membawa Smara ke halte. Dua remaja itu duduk dengan napas yang memburu, kelelahan.
"Lo pindah ke mana? Kenapa lo gak pernah balas pesan gue?" tanya Reon.
"Bukan urusan lo," balas Smara tak acuh.
"Lo masih marah?" Reon menatapnya sendu. "Gue minta maaf, Ra."
Smara termenung mendengarnya. Bukan salah Reon ketika Melvin lebih memilih pergi mengejar Zira. Bukan salah Reon ketika Melvin tak bisa menghargai kehadirannya dan ibunya. Bukan salah Reon pula ketika impiannya tak terwujud.
Bukan keinginan Reon untuk menjadi adiknya. Bukan keinginan Smara pula untuk menjadi kakaknya.
Dan bukan keinginan mereka untuk terlahir dari darah daging ayah yang sama.
Smara menghela napas, ia menatap lalu lalang jalanan. "Seandainya gue gak lahir, pasti dunia mereka baik-baik aja," lirihnya.
Smara kembali melamun. Jika ia tak pernah lahir, pasti ibunya tak pernah hancur seperti tadi. Jika ia tak pernah lahir, ayahnya pasti tak akan menyakiti perasaan ibunya. Jika ia tak pernah lahir, ibu kandung Reon pasti tak akan pernah ia cap sebagai wanita jahat.
"Kita cuma korban dari keegoisan orang dewasa yang ngaku-ngaku orang tua kita." Reon berbisik. Laki-laki itu sama-sama menatap lalu lalang jalanan.
Dua remaja yang baru saja memasuki masa-masa SMA itu terdiam di halte, berdua. Pemikiran mereka tak pernah sepi untuk bertanya-tanya apa makna kehidupan orang tua mereka.
"Korban," ulang Smara lirih.
Reon menggapai telapak tangannya, menggenggamnya. "Jangan nyalahin diri sendiri, Ra. Ini semua bukan salah kita."
Smara memperhatikan genggaman mereka. Genggaman yang pernah Smara rasakan ketika mereka melihat Melvin dan Zira berpelukan. Genggaman yang pernah Smara rasakan ketika ia dan Reon begitu optimis terhadap misi yang mereka harap akan memunculkan sebuah keluarga yang harmonis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...