Smara tahu ia berasal dari keluarga yang biasa saja. Keluarganya jarang bersatu, tak jarang ia hidup sendiri selama orang tuanya bertugas. Selama lima belas tahun ini, Smara lebih banyak menghabiskan hidup dengan ibunya daripada dengan ayahnya. Meskipun keduanya sibuk bekerja.
Tapi, baru-baru ini Smara merasakan perhatian ayahnya yang lebih dari sebelumnya.
"Kamu sering naik angkot sendirian?" tanya Melvin sambil melirik tajam pria yang duduk berhadapan dengan Smara dalam angkot.
Smara mengangguk.
Melvin menatap putrinya dari samping, belasan tahun Smara hidup sederhana. Padahal Melvin sendiri berasal dari keluarga konglomerat bahkan gaji kerjanya tinggi. Melvin bukannya menutupi kekayaannya kepada putrinya sendiri, tapi ia hanya sedang di fase membingungkan.
Melvin ingin Smara hidup nyaman dan aman, tapi ia tak bisa mempercayai siapapun untuk menjaga putrinya. Terakhir ia percaya kepada seseorang, ia kekecoh hingga menyebabkan masalah yang fatal dengan Alya sebagai korbannya.
Terlebih ia memiliki status dengan Zira yang karirnya melejit tinggi. Melvin tak mau hidup Smara digunjing orang-orang hanya karena status dirinya dengan Zira. Melvin juga tak mau membuat karir Zira goyang hanya karena ia mempunyai anak dari Alya. Kemana-mana Melvin menggunakan topi hitamnya, agar sosok dirinya tak terlalu terekspos.
"Bimbingannya dimana?" Melvin kembali bertanya.
"Madera House." Smara menjawab sambil memperhatikan depan jalan. "Di depan kiri, Bang!" serunya.
"Siap, Neng." Tukang angkot itu menyahut sambil memelankan kecepatan angkot.
Melvin turun lebih dahulu sambil membayar ongkos dirinya dan Smara. Setelah itu ia mengulurkan tangannya membantu Smara turun dari angkot.
"Udah telat," ujar Smara sambil berlari ke gedung bernuansa kayu dengan nama Madera House.
Melvin ikut berlari, menyejajarkan langkah larinya dengan putrinya. Ada yang menghangat di hati Melvin saat bisa mengantarkan anaknya, meskipun hanya menggunakan angkot.
"Smara." Melvin meraih tangan kanan Smara dan memeluk putrinya sambil mencium puncak kepalanya. "Ayah tunggu kamu sampai selesai bimbingan. Ibu kamu juga nanti nyusul."
Smara terdiam kaku, ini bukan pelukan pertama yang Melvin berikan dan ini jugabukan kecupan yang pria itu berikan, tapi mengapa rasanya mengharukan? Serasa ada yang kembali dari sebuah kehilangan.
Mungkin dua minggu ayahnya cuti ini, Smara akan lebih banyak merasakan kasih sayang ayahnya sekaligus mengobati rasa kecewanya.
* * *
"Di sini ada yang namanya Alzareon Dimitri Mahesa?"
Suara wanita dari arah pintu belakang kelas memecahkan keheningan kelas dengan jumlah delapan murid itu, mereka semua sibuk dengan dunianya masing-masing dengan buku yang terpegang di tangan.
Reon yang merasa namanya terpanggil itu menyimpan buku yang sedang dibacanya dan membalikkan badannya sambil mengangkat tangan.
"Ada titipan dari bunda kamu." Wanita itu mendekati kursi Reon dan memberikan paper bag itu. "Katanya kamu belum sarapan? Kamu bisa sarapan dulu sebelum kelas dimulai," bisik wanita itu sebelum pergi.
Reon menatap datar paper bag itu, lalu kembali membaca buku sambil menunggu guru pengajar masuk ke kelas, tanpa mau mengetahui apa yang sudah bundanya kirim itu.
Baru beberapa menit kelas yang berisikan delapan murid pintar itu hening, tapi lagi-lagi ada suara yang memecahkan keheningan mereka.
"Gila! Cape parah!" seruan suara cewek itu terdengar sambil membuka kasar pintu kelas. "Aduh enak banget kelasnya dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...