Ada yang dicari untuk membalaskan dendam, ada yang dicari untuk meminta kasih sayang.
* * *
Dua sampai tiga mobil berhenti sembarangan di tepi jalan, membuat suara pengendara lain melengking. Motor-motor menyerang dari berbagai arah, selap-selip mencari peluang jalan. Beberapa angkutan umum berhenti tepat dua meter dari jarak gerbang sekolah.
Murid-murid berseragam putih dan biru berhamburan dari salah satu gedung sekolah menengah pertama negeri, meninggalkan sekolah dengan wajah letih dan pucat. Rata-rata murid perempuan yang keluar dengan wajah seperti itu, berbanding terbalik dengan murid laki-laki yang masih cengar-cengir walau tugas menumpuk.
Smara salah satunya. Gadis bangku akhir SMP itu menekuk keras wajahnya, ia ingin pulang cepat tapi kemacetan di gerbang selalu menghambat. Smara yang sedang berdesak-desakan dekat gerbang pintu itu merutuk, harusnya sebelum keluar kelas ia mengikat rambutnya dengan scrunchie biru dongker yang sekarang menjadi gelang.
Smara mendorong temannya yang sedang berdesakan keluar gerbang. "Cepet dong! Lelet banget!"
Sosok yang Smara dorong berbalik dan langsung menarik rambut cewek itu. "Lo pikir lo doang yang mau keluar cepet?! Lo gak punya mata hah?!"
Smara mengangkat dagunya sambil melotot, ia menepis tangan cewek yang sedang menjambaknya. "Lo bisa liat sendiri gue punya mata apa kagak! Minggir lo!"
"Belagu banget, sekolah bukan punya bokap lo!"
"Bukan punya bokap lo juga!"
"Sekolah tuh di seberang kalo gak mau desek-desekan!" Si penjambak rambut itu menunjuk sekolah elit di seberang jalan.
Smara mendelik, ia tak menghiraukan perkataan cewek itu. Smara langsung berbelok tajam dari gerbang sekolah, menjauh dari kerumunan juga tak ingin melihat siswa atau siswi yang dijemput oleh ayah ataupun ibunya menggunakan kendaraan pribadi.
Alasan pertama ialah, dijemput selalu menyebabkan kemacetan. Alasan berikutnya ialah, ia iri tak bisa seperti mereka.
Smara berhenti melangkah saat ia menatap toko buku loak sebelah gedung sekolahnya, jika dipikir-pikir ia tak pernah mengunjungi toko itu selama tiga tahun ia sekolah di sini. Kaki Smara berjalan masuk, tak ada salahnya pula ia iseng ke toko itu, sebentar lagi ia lulus, mungkin tak akan ada waktu berkujung.
"Ini kan ...." Smara yang sedang menatap dinding berselimut jajaran buku-buku bekas itu terkesiap saat ia menangkap sebuah majalah usang menyembul di antara buku-buku tebal, ia meraih majalah itu dan ditatap lekat salah satu halaman yang membuat napasnya tercekat.
"Cari apa?" Suara berat dan serak itu membuat Smara reflek menjatuhkan majalah usang itu. Seorang kakek berkacamata berantai –penjaga kios itu tersenyum, membuat matanya menghilang ditelan lipatan pipi yang terangkat.
Smara memungut majalah yang jatuh itu, ia membalas tersenyum sebisa mungkin. "Saya mau beli majalah ini," ujarnya.
Kakek itu mengambil majalah di tangan Smara, ia menaik-turunkan kacamata sambil mengamati majalah usang itu. "Ini majalah lama, di sana ada yang terbaru." Si kakek menunjuk ke meja kasir dengan majalah usang yang telah ia gulung.
Smara menggeleng kencang. "Saya mau yang itu." Smara menunjuk majalah yang masih ada di tangan si kakek. "Berapa harganya?" tanyanya dengan suara yang tercekik.
Kakek itu menahan tangan Smara yang hendak mengeluarkan uang dari dalam tas dan berkata, "Tak usah. Bawa saja."
"Tapi ini barang dagangan Anda," sanggah Smara saat kakek itu memindahkan majalah ke tangan Smara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...