Zira hanya mampu diam menyaksikan betapa kejinya dunia mempermainkannya.
Menceraikan Melvin adalah keputusan yang benar. Seharusnya dari lama ia melakukan itu.
Pikirannya hening di saat Alya bertekuk lutut di hadapannya. Alya yang salah, tetapi tingkah wanita itu membuat Zira menjadi orang yang paling patut disalahkan.
Zira hanya ingin membalas rasa sakit yang selama ini ia tanggung sendirian.
Zira telah mempersiapkan langkah ini dari lama, melaporkan perselingkuhan Melvin. Namun, dengan mudahnya Alya membuat Zira gentar dengan langkahnya sendiri. Semudah wanita itu menekuk lutut dan memohon agar ia mencabut tuntutan.
Padahal satu langkah lagi ia dan Melvin berada di meja hijau dan menyelesaikan apa yang sejak dulu seharusnya sudah selesai.
Ini akan menjadi yang kedua kalinya jika ia benar-benar mencabut laporannya dan batal menceraikan Melvin.
"Ini semua bukan salah ibu. Ini semua salah Smara. Ini semua salah impian Smara yang ketinggian, Smara yang minta ke ibu buat ngehancurin pernikahan Tante Zira sama Om Melvin. Smara cuma mau keluarga yang sah dan bahagia. Smara minta maaf, Tante."
Zira mencabut kacamata hitamnya, mata bengkak dan sembab wanita itu terlihat. Kepala Zira dibenturkan pelan ke setir mobil, lalu wanita itu menangis.
"Smara yang minta ke ibu buat ngehancurin pernikahan Tante Zira sama Om Melvin."
Gadis kecil dan pemberani itu...
"Smara cuma mau keluarga yang sah dan bahagia."
...terlalu terlibat dalam setiap masalah orang-orang dewasa.
"Smara minta maaf, Tante."
Gadis yang sering memanggilnya wanita munafik sialan tadi bertekuk lutut di hadapannya. Memohon bersama ibunya.
Mengapa dunia sangat keji membalikkan keadaan? Mengapa kini ia yang terlihat jahat? Bukankah seharusnya Zira yang memohon kepada mereka agar tak mengganggu kehidupannya dan Melvin lagi?
Bukankah ini yang ingin ia balas atas rasa sakitnya karena kemarin suaminya pulang kepada wanita lain?
Bukankah ini semua keinginannya untuk melihat Alya lebih menderita?
Namun, mengapa Zira tiba-tiba melangkah mundur?
Tak seharusnya pula Zira tiba-tiba merasa iba kepada dua perempuan yang tadi bersimpuh di depan kakinya. Tak seharusnya Zira menangisi mereka.
"Ra."
Zira membenci suara berat itu, meskipun ada setitik rindu yang masih terasa.
Zira mengangkat kepalanya, menatap getir Melvin yang baru duduk di samping kursi kemudinya.
"Pergi." Zira menatap lurus ke depan, ia menahan air matanya untuk sementara.
Pria itu bergeming, menatapnya.
"Pergi, Mel," ulang Zira.
"Pindah. Biar aku yang nyetir," ujar Melvin.
Zira mendengus, pria itu keras kepala. Seharusnya ia mengunci mobil agar Melvin tak seenaknya bisa masuk.
Kedua tangan Zira memegang setir dengan erat, lalu ia menginjak pedal gas. Dari spion mobil, ia masih melihat Alya, Smara, dan Gino yang masih diam di depan gedung polres. Zira memilih pergi tanpa memberikan jawaban.
"Ra," panggil pria di sampingnya. "Maaf."
Selalu kata itu yang pria itu ucapkan. Melvin orang ketiga yang mengatakan maaf pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...