22 - Disclosure

244 33 13
                                    

Smara memandangi dirinya sendiri melalui refleksi cermin. Senyum lebarnya terlihat. Bukti kuat berupa fotokopi akta kelahiran Reon terjaga aman di dirinya. Ia sudah siap pergi ke acara besar perusahaan Lazuard.

Sudah sangat siap menjalankan misinya itu.

Kemarin malam Melvin tak pulang. Smara tak risau dan tak bertanya-tanya. Gadis itu sudah menebak ayahnya pasti harus bermalam dengan Zira—setidaknya berkomunikasi mengenai acara besar itu karena mereka pemilik perusahaan itu.

"Mau pergi ke mana?" Alya bertanya ketika gadis itu baru saja keluar kamar. Napas wanita itu naik turun dengan keringat yang mengalir dari pelipisnya, Alya baru saja jogging. Rutinitas pagi menjelang siang yang tak pernah terlewat.

"Main," jawab Smara.

"Main ke mana?"

Smara berpikir sejenak, perusahaan itu ada di pusat kota. "Mungkin keliling kota."

"Sama siapa?"

Untuk yang itu, Smara terpaksa berbohong. "Sendiri."

"Ibu temani."

"Nggak usah!" Smara terpelonjak sendiri dan langsung menyadarinya. "Maksudnya, Smara mau main sendiri aja, Bu. Me time gitulah."

Alya menatapnya lama, dari atas sampai bawah. Dan bermuara pada mata putrinya. Menelisik.

"Boleh, kan?" tanya Smara.

"Boleh. Asal hp kamu selalu aktif, jangan matiin GPS-nya."

Smara menggerakan tangannya, hormat. "Siap!"

Setelah itu, ia berpamitan kepada ibunya dengan senyum yang mengembang. Tak pernah sirna.

"Ibu tenang aja, Smara bakal buat keluarga kita nyata. Sebentar lagi," gumam gadis itu dengan optimis, setelah jauh dari rumah.

Matahari kian memanjat langit. Gedung paling tinggi itu yang menjadi tempat tujuan Smara. Kota tampak sangat ramai hari ini, pusat keramaian bertitik pada gedung itu. Acara besar ulang tahun perusahaan yang selalu terbuka untuk umum.

"Reon!" panggil Smara ketika melihat sosok laki-laki berjas putih berjalan hendak memasuki gedung. Smara berlari kecil mendekatinya.

"Halo, Om Gino," sapa Smara kepada pria di samping Reon.

Raut Gino sempat terkejut yang buru-buru ditutupi dengan senyum. "Smara datang ke sini sama siapa?" tanya pria itu.

"Sendiri."

Gino mengangguk. "Kalau begitu, Om sama Reon duluan, ya."

"Papah duluan aja." Reon menolak ajakan papahnya.

Gino menggeleng. "Kamu harus dikenalkan ke teman-teman bisnis Papah, Reon."

"Itu bisa nanti, Pah. Sekarang Reon mau sama Smara."

"Ya, sudah." Gino mulai melangkah.

Smara berjalan bersisian dengan Reon memasuki gedung, di depan mereka ada Gino yang mulai disapa orang-orang berjas.

"Lo formal banget pake jas. Jadi insecure gue. Tau lo pake jas, gue nggak bakal pake baju main," bisik Smara.

"Sengaja. Biar urusannya nggak susah kalo ketemu penjaga," balas laki-laki itu. "Gue dengar dari papah, acara ini emang terbuka buat umum, tapi ada juga khusus untuk petinggi bisnis. Dan acara khusus itu cuma bisa diakses sama orang-orang dress code putih yang punya kartu undangan."

"Udah pasti, sih."

Smara menatap aneh punggung tegap di depannya. Gino berjalan lambat, sering kali kepalanya ditolehkan ke samping dengan bola mata yang terlihat seperti ingin menatap dua remaja di belakangnya. Bahkan Gino sampai sempat mengabaikan koleganya menyapa. Gino terlihat melamun, mungkin menguping pembicaraan dua remaja di belakangnya.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang