Extra Chapter - 2

179 16 4
                                    

Alya tahu, bertahan di Jepang adalah bunuh diri.

Namun, bunuh diri paling mengesankan adalah mati di tempat yang ia cintai. Di tempat pria yang ia cintai menyukai tempat itu juga.

Jepang adalah tempat terbaik bagi Alya dan Gino, sekaligus tempat terburuk masa lalu mereka.

Selalu ada doa yang ia batinkan, meskipun banyak dosa yang ia lakukan.

Harapan yang tak pernah luput dari setiap kata hati.

"Keajaiban itu belum waktunya datang, ya?" Setiap harinya, Alya bertanya seperti itu di tepi danau dan di bawah pohon sakura.

"Kita yang menginginkan keajaiban, malah Melvin dan Zira yang mendapatkannya." Lalu, Alya tertawa getir.

Jika boleh jujur, ia iri sekali dengan Melvin dan Zira yang bisa kembali bersama lagi. Sedangkan ia bernasib tragis. Padahal semua ini terjadi bukan salahnya. Bukan keinginannya pula.

Ponsel Alya bergetar, sebuah notif masuk dari pengingat kalender. Besok keberangkatannya ke Indonesia.

Setidaknya, Alya masih bertahan hidup untuk putrinya. Meskipun Smara sudah tak menganggap dirinya hidup.

Alya terlalu lama terpuruk, ia melupakan putrinya. Sebentar lagi, Smara lulus SMA. Setidaknya, ia menghadari kelulusan putrinya.

Tubuh Alya terhuyung ketika seseorang tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan langsung menonjok pipinya. Alya meludah darah, lalu berdecih. Terlihat beberapa mantan rekan organisasi rahasianya dulu.

Alya tertawa kecil. Mereka akhirnya menemukannya setelah dua tahun Alya berpindah-pindah kota di Jepang. Beruntung sekaligus sial, mereka tak lupa dengan perawakan Alya yang dua tahun lalu menembak mantan bos mereka.

Telapak tangan Alya mengepal matang, ia siap menghadapi beberapa mantan rekannya dengan tangan kosong. Meskipun kemungkinan besar, Alya kalah karena mereka berjumlah lebih banyak.

Setidaknya ia mati di negara yang menjadi impiannya dan pria yang ia cintai.

Alya menangkis serangan salah satu pria yang hendak memukulnya, lalu ia balik menyerang. Satu pria berhasil Alya lumpuhkan.

Alya mengatur napasnya, ia menatap setidaknya ada lima pria yang belum ia kalahkan. Sialnya, di setiap saku celana mereka terselip pisau lipat.

Alya melirik sekitarnya. Sepi. Kesempatan besar bagi mereka untuk menghabisi nyawanya.

Mereka serempak melepaskan pisau lipat, melangkah cepat ke dekat Alya. Entah mengapa, Alya memilih diam. Tak berlari. Ia memilih melawan, meskipun ia tahu akan kalah.

Dendam kesumat membuat serangan mereka kuat. Alya menendang salah satu pisau dari pria itu hingga melambung tinggi ke udara, lalu ia mengambilnya untuk menjadi senjatanya.

Pergulatan terjadi dengan sengit. Alya masih belum kalah, meskipun lengan atas dan pahanya tersayat pisau tanpa ampun. Ia masih bisa bergerak menghindari serangan dan lekas berbalik menyerang, meskipun ia menangung perih yang bukan main sakitnya.

Alya terjerembab ketika musuh mendorongnya, segera wanita itu membalikkan badan menjadi terlentang di tanah dan tangkas menahan pisau tajam yang siap menusuknya.

Tes.

Pisau tajam yang sedang Alya tahan membuat telapak tangannya tersayat semakin dalam, semakin banyak pula darah mengalir. Gigi Alya bergemeletuk, wajahnya penuh peluh, dan tangannya kini gemetaran menahan bilah pisau.

Sumbu api di mata musuhnya belum padam. Dendam masih membara. Sedangkan Alya semakin kehilangan darahnya.

Ujung pisau paling tajam itu semakin mendekati jantungnya. Sedangkan telapak tangannya sudah terasa kebas, menahan tajamnya pisau.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang