Hening. Deru napas dua manusia itu tak terlalu terdengar. Si pria sibuk memainkan ponsel, menghubungi seseorang lewat pesan, dan si wanita asik melamun.
"Ra?" panggil Gino, mereka masih di mobil dan menunggu putra mereka selesai bimbingan.
Tak ada sahutan, wanita itu masih melamun.
"Zira." Gino menjentikkan jarinya di depan wajah wanita itu.
"Apa?" Zira tersadar dan ia menatap Gino dengan tatapan tanda tanya.
"Ngelamunin apa?"
Zira menggeleng. "Enggak ngelamunin apa-apa."
"Berkas-berkasnya lagi diproses."
"Berkas-berkas apa?"
"Perceraian kamu sama Melvin."
Kembali hening sejenak sebelum Zira mengangguk dan berkata, "Ah, iya."
"Kemungkinan nanti sore atau besok selesainya—"
"Pah," potong Zira.
Gino menoleh. "Apa?"
Masih ada sesuatu yang mengusik Zira, dan ia tak tahu keputusan menggugat cerai Melvin itu sudah benar atau tidak. Apakah ia harus masih menunggu Melvin mengungkapkan kebohongannya, sebelum perutnya menjadi buncit?
"Kenapa?" Gino menyadarkan Zira yang kembali melamun.
"Bisa kita tunda gugatan itu?" tanya Zira. "Aku tunda gugatan itu karena Reon." Zira melanjutkan perkataannya saat sadar dengan diamnya Gino dengan ekspresi yang datar.
"Maksud kamu?"
"Reon pernah liat aku sama Melvin, dan aku waktu itu cuma diam. Sampai sekarang aku belum ngejelasin semuanya ke Reon. Aku harus ngejelasin semuanya soal Melvin ke Reon, sebelum kita ngeberesin perceraian aku sama Melvin."
Helaan napas terdengar dari Gino, ada perasaan kecewa yang tak mau ia ungkapkan. Tak lama pria itu mengangguk, menyetujui keinginan calon istrinya.
Zira tersenyum. "Kita ke minimarket sana, yuk. Sekalian nostalgia."
Melihat senyum Zira, perlahan rasa kecewa Gino rontok. Ia membalas senyum Zira dan keluar dari mobil.
"Mau apa?" tanya Zira sambil menenteng keranjang minimarket.
Gino segera mengambil alih keranjang itu. "Aku bisa ambil sendiri."
Zira berjalan mendekati lemari dingin, ia mengambil botol teh hijau dan menyimpannya di keranjang.
"Udah? Cuma itu doang?" Gino mengeryit, biasanya Zira akan membawa setidaknya dua botol minuman.
"Lagi pengin itu doang." Zira memperhatikan Gino yang membungkuk mengambil sebotol coca-cola. "Gak pernah bosan, ya? Yang diambil pasti cola."
Gino terkekeh. "Mau apa lagi?" tanyanya.
"Itu aja. Nanti kita makan siang di—"
"Reon nelpon." Zira langsung diam saat Gino berkata demikian.
Zira mengambil alih keranjang di tangan Gino. Tanpa suara Zira berkata, "Aku bayar dulu ini."
Gino mengangguk dan menerima telepon putranya.
"Hallo, Pah?" Reon yang pertama menyapa.
"Udah lesnya, Reon? Ini Papah sama bunda lagi di minimarket samping gedung les kamu."
Gino mendengar Reon yang menghela napas. "Reon udah selesai lesnya? Papah sama bunda ke sana sekarang, ya?" tanya Gino.
"Jangan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...