40 - Sorry

229 34 13
                                    

Pasangan pembisnis romantis, terciduk berciuman di trotoar jalan.

Romantisnya pasangan pembisnis menghabiskan waktu weekend bersama di hotel.

Gaya rambut baru Zira berhasil memikat sang suami.

Alya tersenyum miris membaca judul-judul berita yang ada di berandanya pagi ini. Segera ia mengambil ponsel Smara, jangan sampai putrinya membaca berita-berita yang berkaitan dengan Melvin dan Zira.

Seminggu.

Zira menghilang selama itu dan tak pernah ada berita apapun yang muncul. Namun, ketika Melvin berhasil menemukan Zira, laman-laman berita kini penuh dengan mereka.

Peliput berita pasti tak pernah mengetahui bahwa wanita yang mereka beritakan selama seminggu sempat menghilang.

"Bu, kok baju-baju di lemari aku jadi dikit?" tanya Smara yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Kamu lupa?" tanya balik Alya. "Kita 'kan mau pindah. Kamu SMA di luar kota, Ibu udah pilihin."

"Pindah?" Mata Smara terbebelak. "Kok tiba-tiba?"

"Nggak tiba-tiba, Ibu 'kan pernah ngebahasnya. Besok kita berangkat."

"Kenapa ibu mutusin besok berangkat? Terus sidang perceraian Zira gimana? Apa ayah ikut pindah juga?"

Alya membawa putrinya duduk di sebelahnya. "Jangan pikirin sidang perceraian mereka. Ibu mau kamu fokus belajar, jangan ikut campur lagi."

"Tapi, Bu..."

"Smara." Alya menatap tajam putrinya. "Itu bukan sesuatu yang harus kamu pikirin apalagi ikut campur. Itu bukan masalah kamu."

"Kalo aku gak ikut campur emang Ibu bisa nyelesain sendiri?" Smara menentang. "Ibu pernah berjuang, terus pernah nyerah, terus sekarang berjuang lagi. Gimana kalo nanti Ibu tiba-tiba nyerah lagi? Terus aja muter kayak gitu sampai akhir."

"Apa susahnya kamu ikutin kemauan Ibu? Ibu cuma pengin kamu fokus belajar, nggak ikut campur urusan Ibu sama ayah kamu."

"Jaminannya apa?" Smara mengangkat sudut bibirnya, sorot matanya sinis. "Buat apa aku capek-capek belajar kalo Ibu dan ayah nggak kasih aku jaminan."

"Belajar itu buat kamu sendiri, masa depan kamu, Smara!"

"Masa depan?!" ulang Smara tak kalah tinggi. "Masa depan aku bersumber dari keluarga, Bu! Keluarga impian aku! Aku gak bakal pindah sebelum ibu kasih aku jaminan!"

Alya menyugar rambutnya, tak mengerti jalan pikir putrinya yang keras kepala. "Kamu mau jaminan apa?"

"Keluarga," jawab Smara mutlak dan pasti.

Alya terdiam lama, jawaban Smara seperti perapat bibirnya.

"Nggak bisa 'kan Ibu menjamin itu?" ketus Smara. "Beberapa hari lagi nanti juga Ibu tiba-tiba nyerah."

"Gimana bisa Ibu nyerah sedangkan pengadilan udah mulai membuka sidang percerai mereka?" tanya Alya.

Smara memutar balikan pertanyaan ibunya, "Terus kenapa Ibu nggak bisa kasih aku jaminan berupa keluarga? Aku cuma pengin punya foto pernikahan kalian...."

"Foto kita bertiga, pengin akta kelahiran kamu yang ada nama ayah, kartu keluarga yang ada nama ayah sebagai kepala keluarga. Kamu pengin punya keluarga yang benar-benar keluarga sah. Baik secara hukum ataupun agama." Alya melanjutkan perkataan putrinya. "Ibu tau, Ra. Ibu ingat jelas."

"Kasih aku jaminan, Ibu gak bakal nyerah dan bakal kasih keluarga impian aku. Dengan begitu aku bakal tenang sekolah di manapun yang ibu mau."

Alya berpikir cukup lama, lalu menghela napas panjang. "Ibu kasih jaminan itu. Ibu janji gak bakal nyerah dan mewujudkan keluarga impian kamu."

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang