62 - Chance

210 29 10
                                    

Berteman dengan luka, berdamai dengan masa lalu, mengubur impian yang tak pernah tercapai, menghapus cinta pertamanya, dan menerima semua masalah hidupnya merupakan siklus hidup seorang gadis yang tak pernah bisa mengubah isi dunianya. 

Melvin dan Zira hanya tahu Smara sering usil kepada Reon. Yang mereka tahu, Smara adalah gadis yang barbar, tak bisa menjaga lisan, dan terlalu mudah terpancing emosi.

Padahal mereka tak pernah tahu, Smara sering menangis di kamarnya. Bertanya-tanya mengapa kehidupannya seperti ini.

Impian memiliki keluarga bahagia tak pernah tercapai. Ia melakukan aksi mengemis kasih sayang, justru malapetaka yang datang.

Tak pernah ada orang yang benar-benar sayang kepadanya. Ayahnya telah pergi, calon ayahnya terpaksa pergi, dan kini ibunya juga ikut pergi.

Ia ditinggalkan hanya dengan kartu debit, penunjang kehidupan. Padahal uang bukan segalanya.

"Gue sering bertanya-tanya, gue ini hidup buat siapa, ya? Ayah pergi, papah pergi, dan ibu juga pergi." Smara berkata kepada Reon.

"Ayah lo gak pergi, Ra. Dia selalu ada buat lo."

Smara tersenyum kecut.

"Lo tau, Ra?" tanya Reon. "Ayah kalo datang ke rumah ini, selalu ngomongin lo. Sebelum lo datang liburan ke sini, ayah sering ngomong sama bunda gak pernah ada penarikan dana lewat kartu debit lo. Ayah khawatir kalo lo selama ini kerja buat ngasilin uang sendiri. Dia sampai setiap hari nelepon seseorang buat nanya-nanya kondisi lo."

"Apa lo mau tau satu rahasia?" tanya Reon lagi.

"Apa?"

"Kos tempat lo tinggal itu punya nenek gue, Ra. Ibunya bunda. Nenek yang selalu ayah hubungin buat tau kondisi lo di sana."

Smara terhenyak. "Nenek Azahra?"

Reon mengangguk. "Lo jangan bilang ke siapa-siapa, ya. Gue pernah nguping dari ayah sama bunda. Mereka sampai berasumsi kalo ibu lo sengaja titipin lo di sana karena tau kosan itu milik nenek. Ibu lo pilih tempat yang kemungkinan besar ada orang yang dikenalnya dan bisa jaga lo."

Smara kembali tersenyum kecut. "Kadang gue mikir, kehidupan gue tuh yang ngatur bukan Tuhan. Tapi, ibu gue. Ibu yang ngasih petunjuk lewat majalah buat gue cari tau perselingkuhan ayah. Ibu yang nitipin gue ke nenek lo. Ibu yang ninggalin gue gitu aja."

"Tapi, ada satu hal yang gak ibu lo atur, Ra."

Smara menatap mata Reon. Mata yang sama persis seperti mata Melvin.

"Ibu lo gak pernah ngatur cara kita bertemu," lanjut Reon. "Lo masih ingat, lo pernah minta bantuan gue biar bisa masuk ke kantor bunda?"

"Ingat lah!" Smara tertawa. "Lo dulu arogan banget, Re."

Reon ikut tertawa. Tak terasa kejadian itu terjadi satu tahun yang lalu. Ketika mereka masih SMP kelas sembilan.

"Re, ternyata bunda lo baik, ya. Gue pikir gue gak bisa tinggal di sini karena bunda lo masih marah sama gue. Ternyata enggak. Padahal dulu gue sering jahatin dia."

"Bunda orangnya gitu. Gak bisa marah lama-lama."

Smara mengangguk. "Bunda lo juga sayang banget sama gue, Re. Dia senang banget kalo gue kasih izin buat ngusap-ngusap rambut panjang gue. Gue ngerasa tante Zira tuh kayak pengganti sosok ibu buat gue."

Dulu Smara sangat tidak menginginkan 'berbagi ayah'. Tapi, kini berbagi ayah, berbagi kasih sayang tak sepenuh salah. Smara bisa merasakan bagaimana kasih sayang sosok ibu lewat perlakuan baik Zira kepadanya.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang