Lima bulan kemudian.
Melvin sudah menjalani operasi jantungnya, pria itu juga menjalani terapi. Selalu Zira yang menemani pria itu. Jika bukan bujukan Zira, Melvin tidak akan pernah mau mengobati dirinya sendiri.
Perut Zira tentunya semakin membesar. Kehamilannya menginjak delapan bulan. Satu bulan lagi ia akan melahirkan.
"Hai, Cantik." Melvin tersenyum lebar, pria itu mengenakan setelan jas. Pakaian yang lima bulan terakhir menjadi pakaian wajibnya.
"Hai, Mel." Zira balik menyapa. Wanita berbadan dua itu sedang membantu pelayan rumah menyiapkan sarapan.
Melvin menggeser kursi tempat makan, lalu menuntun Zira dengan hati-hati agar duduk. "Kamu duduk, biar aku yang lanjutin," ujar pria itu.
Lima bulan terakhir banyak perubahan pada mereka.
Melvin setiap pagi datang ke rumahnya, membantu pelayan rumah menyiapkan sarapan. Zira paling senang ketika melihat Melvin yang melepaskan jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya hingga sikut.
Melvin menghidangkan beberapa piring di meja makan. "Tunggu sebentar, aku manggil Reon dan Smara dulu."
Zira mengangguk, ia mengamati menu sarapan pagi ini. Menggiurkan.
Melvin belum beranjak dari tempatnya, tapi kegaduhan sudah terdengar dari arah tangga.
"Sakit, Ra!" gerutu Reon.
"Ada kutu di kepala lo!" seru Smara heboh.
"Ngadi-ngadi lu, Ra. Gue baru keramas kemarin."
"Serius! Sini gue tunjukkin."
Lalu, Reon berteriak kesakitan.
Melvin dan Zira sedari tadi memperhatikan dua remaja yang masih mengenakan piama. Smara tertawa terpingkal-pingkal dan belari ke ruang makan.
"Duduk, Smara." Melvin berujar.
Tawa Smara hilang, ia bergegas duduk. Tak lama Reon duduk di sampingnya.
Zira tersenyum kepada dua remaja itu. "Tidur kalian nyenyak?" tanyanya.
Smara mengangguk. "Nyenyak."
"Gak," ketus Reon.
Smara senyum-senyum sendiri mendengarnya. Gadis itu menghabiskan liburan sekolahnya dengan tinggal di rumah Zira.
"Diusilin Smara lagi?" tuding Melvin.
Smara menatap tajam ayahnya, lalu Reon.
Reon menggeleng. "Enggak," bohongnya.
Melvin menatap Smara. "Kamu jangan usilin Reon terus, Smara."
Smara berdecak sebal, lalu bangkit dari kursi. "Iya, gak bakal lagi. Hari ini juga Smara pulang."
"Ra." Reon memanggil Smara yang pergi dari ruang makan.
Zira menaruh sarapan mereka di nampan. "Reon, bawa sarapan kamu dan Smara."
Melvin menghela napas ketika Reon pergi menyusul Smara. Zira yang melihat itu segera mengusap tangan Melvin.
"Udah lima bulan, Ra. Tapi, hubungan aku dan Smara gak pernah berjalan baik. Apa aku terlalu kaku? Atau Smara masih benci sama aku?" keluh Melvin.
"Smara mungkin masih perlu waktu buat maafin kamu, Mel." Zira menenangkan pria itu. "Lima bulan yang lalu dia bukan cuma kehilangan calon ayahnya, tapi dia juga kehilangan ibunya. Jadi, wajar Smara masih sensitif."
Napas Melvin memberat. "I lost her mom, Ra. Aku gak tau dia dimana sekarang."
"Dia pasti kembali, Mel." Zira mengusap bahu Melvin. "Dia gak mungkin selamanya ninggalin putri satu-satunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...