51 - The Best Woman

210 35 33
                                    

Alya melipat kedua lengannya di depan dada. Dua netra cokelatnya tak pernah berhenti untuk menatap sosok pria yang sedang memimpin rapat dengan menggunakan bahasa Jepang yang fasih.

Sorot mata pria itu menajam ketika nada suaranya mengisyaratkan keseriusan. Kadang kala sebelah alis pria itu terangkat ketika ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Balutan jas necis selalu terlihat pas di tubuh atletis pria itu.

Ruang rapat itu diakhiri dengan tepuk tangan dan senyum bangga dari para pembisnis terkenal dari negara sakura. Pria pemimpin rapat tersenyum singkat, lalu berterima kasih.

Entah sudah keberapa kalinya Alya terpana dengan sosok Algino Thuka Mahesa.

Gino melangkah meninggalkan ruang rapat sembari melonggarkan perlahan dasinya yang terasa mencekik leher sejak tadi.

Tangan kekar Gino yang sedang melonggarkan dasi itu membuat Alya yang sedang menunggu di depan pintu ruang rapat hanya bisa terdiam dan menenangkan dentuman keras dari dalam dadanya.

Tangan kekar itu kini melingkar di pinggang Alya dengan pas. "Kelamaan, ya?" tanya pria itu.

Rasanya jantung Alya akan meledak melihat Gino tepat di depan wajahnya. Mulutnya tak bisa menghasilkan vokal.

"Lya?" Gino menatapnya dalam. "Kamu gak apa-apa?"

Alya mengangguk patah-patah. "I-iya."

Gino memperkenalkan Alya sebagai tunangannya kepada rekan-rekan bisnisnya ketika mereka berpapasan di koridor saat hendak meninggalkan gedung.

Dan hal itu tak perlu Alya susah-susah untuk diperdebatkan. Sudah hal yang biasa Gino memperkenalkannya sesuka hati pria itu.

Selain melonggarkan dasi, Gino juga kini membuka satu kancing teratasnya. Dari raut wajahnya, pria itu terlihat lelah.

"Biar saya yang nyetir." Alya merebut kunci mobil dari tangan Gino dan masuk ke kursi kemudi.

Gino membuka pintu mobil kemudi. "Saya yang nyetir."

Alya menggeleng. "Anda kelihatan capek sehabis mimpin rapat berjam-jam tadi."

"Saya gak capek, Lya."

"Duduk di samping saya atau saya tinggalkan." Alya langsung menutup pintu mobil usai berkata demikian.

Gino akhirnya terpaksa duduk di samping Alya, ia memang sedikit kelelahan. Namun, melihat Alya yang setia menunggunya di depan ruang rapat tadi membuat semangatnya kembali hadir.

Terlebih lagi sekarang, Gino menatap penuh Alya yang sedang fokus mengemudi. Semangatnya seolah sedang diisi, rasa lelahnya perlahan terlupakan.

"Jangan memperhatikan saya seperti itu," ucap Alya, kikuk.

"Saya juga tadi diperhatikan seperti ini sama kamu berjam-jam," balas pria itu.

Lalu, pipi Alya terlihat bersemu merah dan tak ada tanggapan lagi dari wanita itu.

Mobil itu berhenti di sebuah restoran Jepang. Alya yang berinisitif untuk mengisi energi mereka, lebih tepatnya peduli terhadap Gino yang telah memimpin rapat berjam-jam tanpa asupan makanan berat.

"Jangan sampai rutinitas kita terlewat." Gino merebut kembali kunci mobil dari tangan Alya ketika wanita itu hendak masuk ke dalam mobil selesai makan tadi.

Belum sempat memikirkan rutinitas yang dimaksud pria itu, lengan Alya sudah digenggam Gino. Pria itu mengajaknya berjalan kaki meninggalkan mobil yang terparkir di sisi jalan.

Ketika sadar, Alya tertawa kecil. "Akhirnya bisa jalan kaki di Jepang."

Rutinitas sore mereka. Berjalan kaki, olahraga ringan.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang