21 - Tears

240 33 16
                                    

Alya menyimpan saputangan itu di permukaan dashboard mobil. "Terima kasih," ucapnya.

"Saya sudah katakan, saya tidak menerima kembali barang yang telah saya berikan." Gino berkata datar dengan pandangan lurus ke depan.

"Saya hanya memijam." Alya menunjuk salah satu rumah tak jauh dari jangakuan mereka. "Rumah saya yang bercat abu."

"Saya tau."

"Anda benar-benar mengintai saya."

"Tidak. Saya pernah ke sini sebelumnya, menjemput Reon."

Alya tertawa kecil. "Saya hampir lupa, kalau Reon berteman baik dengan Smara secara mendadak."

"Mendadak?" Gino menginjak rem mobil, mereka telah sampai di depan rumah abu itu.

"Tolong matikan mesinnya, Smara peka terhadap suara."

Lampu mobil itu akhirnya padam. "Maksud Anda Reon dan Smara berteman secara mendadak?"

"Smara tidak pernah punya teman dekat di sekolahnya. Tapi, ketika dia bolos sekolah saya lihat di CCTV ada anak laki-laki yang mengikutinya sampai rumah. Reon."

Gino mengangguk. "Reon pernah bolos sekolah dan main di sini. Dan saya yang menjemputnya."

"Bukankah aneh?"

"Mereka menjalin pertemanan, itu tidak aneh."

Alya menggeleng, tatapannya menerawang. "Melvin pernah bilang Smara tahu Zira. Mereka pernah bertemu di kantor Zira. Smara lihat Melvin meluk Zira. Smara manggil Melvin ayah di depan Zira pas pertemuan itu. Bagaimana jika pertemuan yang dimaksud itu terjadi pas Smara bolos?"

"Bolos?" gumam Gino, tak lama ia langsung menatap Alya. "Jika memang begitu, berarti bukan Smara saja yang lihat, tapi Reon juga. Bukannya Reon mengikuti Smara sampai rumah?"

"Jadi maksud Anda, Reon dan Smara bertemu di kantor Zira dan mereka melihat Zira dan Melvin saling berpelukan? Bagaimana jika Reon mengukuti Smara bukan dari kantor Zira?"

Gino langsung menghubungi seseorang. Penjaga kantor. Di tengah malam seperti ini.

"Apa sebulan terakhir ini anak saya pernah datang ke kantor?" tanya Gino pada ponsel yang sudah terhubung dalam panggilan suara. Gino mengaktifkan mode loud speaker.

Hening sebentar bersumber dari seberang panggilan, satpam sedang berpikir. "Kalau tidak salah, pernah, Pak. Bersama teman perempuannya."

"Teman perempuannya?"

"Iya, Pak. Sebelum putra Bapak datang, gadis itu memaksa masuk, tapi saya larang. Pas putra Bapak datang, gadis itu saya persilakan masuk karena mereka katanya berteman."

Alya menatap Gino yang sama-sama menatapnya. Mereka sepertinya tahu siapa gadis itu.

"Apa di hari itu Melvin juga datang ke kantor?"

Hening sempat merajai. "Aduh, saya kurang tahu. Pak Melvin terkadang datangnya tidak bisa diprediksi. Saya hanya ingat dua remaja yang datang ke kantor waktu itu."

"Kalau begitu, tolong cari tahu tanggal kedatangan dua remaja itu. Saya ingin melihat seluruh rekaman CCTV kantor pada tanggal itu."

"Eh, siap, Pak."

"Saya ke sana sekarang."

Gino mengakhiri sambungan telepon dan menyimpan sembarang ponselnya. Tak lama mobil itu bergegas pergi.

"Apa orang-orang kantor udah tahu apa yang terjadi dengan Anda dan Zira?" tanya Alya. "Kenapa bisa semudah itu mendapatkan rekaman CCTV?"

Gino menggeleng. "Saya pemegang saham tertinggi di sana. Orang-orang kantor hanya tau saya sebagai sepupu Zira."

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang