Alya selalu berharap ini semua mimpi. Ia selalu berharap pertengkarannya dengan Melvin hanya bunga tidur pengisi mimpi panjangnya yang buruk.
Melvin pria baik. Alya mengakui itu, tapi dulu.
Alya merasakan jemarinya digenggam, sesekali dikecup oleh seseorang. Orang tersebut selalu mengharapkan ia lekas bangun.
Dan terkadang Alya tak mau ini semua hanya mimpi, karena ia telah menemukan pria yang benar-benar tulus mencintainya.
Aroma karbol bercampur obatan-obatan mengisi indra penciuman Alya. Kondisi Alya sudah membaik, luka-lukanya sudah diobati.
"Lya." Sosok Gino yang pertama kali Alya lihat. Pria itu duduk di tepi brangkar tempat ia berbaring.
Cairan bening menetes dari sudut mata Alya. Ia mencoba bangkit dibantu Gino dan segera memeluk pria itu.
"I'm sorry." Gino mengecupi kepalanya, nada bicara pria itu penuh penyesalan.
Alya menggeleng, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu dan membasahi kemejanya dengan air mata.
Semua kejadian buruk itu masih teringat di otak Alya. Sulit ia lupakan. "Melvin—" Alya terisak. "Dia yang ngirim pesan buat kamu pergi, seharusnya aku udah ganti password hp. Aku lupa dia masih punya kunci duplikat rumah, aku—"
Gino mengusap punggung Alya. Pria itu tak meminta Alya menjelaskan mengapa semuanya bisa terjadi. Pria itu tersenyum dengan sorot mata meneduhkan, ia menangkup kedua pipi Alya.
"I'm sorry," lirih Gino sambil memandang Alya. Dari raut wajahnya yang kusut, Gino terlihat merasa bersalah. Ia kemarin menginap di rumah Alya, tapi Melvin masih tetap bisa menyerang wanita itu.
"Ini bukan salah kamu, No," ucap Alya. "Aku seharusnya bisa jaga diri aku, tapi kemarin...."
Melvin nyaris mematahkan tulang selangkanya, mendorongnya ke dinding dengan kencang, membuat keningnya berdarah, dan pria itu hampir memperkosanya lagi.
"Kamu aman, Lya." Gino berujar. "Dia gak akan pernah bisa nyentuh kamu lagi."
Kening Alya sedikit mengerut, ada pertanyaan yang enggan ia ajukan tapi ia diselebungi rasa penasaran. "Dia... sekarang di mana?" tanya Alya.
Gino sempat terdiam. Berpikir. Pria itu menoleh ke belakang untuk menatap pintu ruang rawat. "Di sini," ucapnya.
Bibir Alya bergetar, rasa takut kembali menyergap.
"Dia kemarin pinsan. Aku udah buat laporan ke polisi kasus kekerasan yang Melvin lakukan ke kamu, Lya. Kalau Melvin udah sadar, dia bakal langsung diurus polisi."
Kepala Alya terasa pusing, mengingat kejadian kemarin. Seingatnya, kemarin Melvin pinsan karena dipukuli Gino.
Alya menggeleng. "Jangan, No. Cabut laporannya."
"Aku gak bisa, Lya. Dia udah ngelakuin kekerasan ke kamu lebih dari satu kali."
"No." Alya menggenggam kedua jemari pria itu. "Kemarin kamu mukul Melvin. Kamu juga—"
"Itu pembelaan diri, Lya. Aku ngelindungin kamu."
Alya menggeleng. "Smara, No. Aku gak bisa ngebayangin kalo Smara tahu ayahnya masuk penjara. Kemarin aja dia nangis ngeliat aku dan Melvin dibawa ke polres. Aku gak mau itu terjadi lagi, No."
"Melvin gak bakal pernah jera, Lya. Dia bisa saja melakukan kekerasan lagi ke kamu."
Alya menangkup kedua rahang tegas Gino, ia tersenyum tipis. "Aku tau kamu khawatir. Aku ngelakuin ini bukan karena aku kasian sama Melvin, aku juga pengin dia dihukum. Tapi, aku gak tega sama Smara. Melvin masih ayah kandung Smara, No."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Ficção AdolescenteKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...