Smara melebarkan matanya saat melihat ibunya berjalan mendekati tangga, bahkan menunjukkan kartu undangan kepada dua penjaga berbadan tegap itu.
"Ayah ngasih undangan ke ibu?" tanya Smara kepada dirinya sendiri.
Smara kembali memperhatikan ketiga orang yang berdiri di panggung, masih menyampaikan kata-kata sambutan. Melvin, Zira dan Gino.
"Kok bisa, ya, mereka kumpul bersama, tapi nggak mancing keributan? Bunda lo pake pelet apa, sih?" tanya Smara pada laki-laki di sebelahnya.
Reon hanya mengendikkan bahunya.
"Harus gue akui, sih, bunda lo itu benar-benar pro player."
"Mereka udah mau keluar," sahut Reon dengan mata terarah ke panggung.
Wajah Smara berseri, semangat. Buru-buru ia mengeluarkan secarik kertas bukti dari tas selempangnya.
"We are on mission, Re." Smara berdiri dari duduknya, matanya tak mau kehilangan Melvin dan Zira yang kini sedang berjalan menuruni panggung.
Reon mengambil telapak tangan kiri Smara. "Jangan main pergi sendiri," katanya ketika Smara mulai beranjak meninggalkan kursi.
Smara tertawa. "Sebenarnya, sih, ini udah tugas gue sendiri, Re. Lo 'kan udah kasih bukti."
"Gue nggak bakal biarin lo sendirian, Ra."
Lalu, mereka mengejar dua orang dewasa berpakaian warna putih itu. Tamu-tamu tanpa undangan yang membeludak menghambat pergerakan dua remaja itu. Mereka kehilangan Melvin dan Zira.
Smara menolehkan kepalanya ke penjuru gedung. "Mereka ke mana, Re?" tanyanya, panik.
"Mungkin ke sana." Reon menarik Smara ke ujung koridor.
"Yang bener? Kita mencar aja gimana?"
Reon menggeleng tegas. "Gue nggak bakal biarin lo sendirian, Ra."
"Ini gedung luas sama gede banget, Re! Kita nggak mungkin cari bareng-bareng, kita harus mencar—"
"Gue nggak mau!"
Smara menepis lengan laki-laki itu. "Kita bisa kehilangan mereka nanti! Kita bisa kehilangan kesempatan!"
Reon kembali menggenggam lengan gadis itu dan menariknya. "Itu mereka."
Smara mengikuti arah tatapan Reon, ia langsung mempercepat langkahnya. Berlari. Mereka tak boleh kehilangan kesempatan. Mereka tak boleh gagal.
Demi sebuah keluarga. Harapannya. Impiannya.
Smara dan Reon melambatkan langkahnya, berusaha tak mengeluarkan suara sekecil apapun karena mereka kini berada jauh dari jangkauan publik.
"Ruang kerja bunda," gumam Reon.
"Mereka mau ngapain?" tanya Smara berbisik.
Reon menahan pergelangan tangan Smara saat gadis itu nekat akan mengikuti Melvin dan Zira sampai masuk ke ruangan berdinding kaca itu.
"Itu kaca semua. Kita nanti ketahuan." Reon menarik Smara bersembunyi di belokan toilet.
Tempat yang sama di mana mereka pernah bersembunyi bersama saat pertama kali berjumpa.
"Kacanya buram, kita bisa sembunyi di dekat pintunya. Di sana ada pot gede," bisik Smara yang menengokkan kepala memperhatikan pintu ruang kerja Zira.
"Di sini, Ra."
Smara mendengus. "Kalo di sini, kita nggak kedengaran mereka ngomongin apa—"
"Kamu mengundangnya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...