Ayahnya pulang.
Terdiam adalah reaksi Smara ketika mendapat kabar itu.
"Princess?"
Smara mengerjapkan mata, tersadar. "Ya, Papi?"
"Mau pulang ke sini?"
"Gimana kencan Papi sama ibu di Jepang? Lancar?" Smara membelokkan topik yang cukup tajam hingga menghasilkan hening dari seberang telepon.
Tak sulit Smara mengetahui kedekatan mereka, meski mereka berpisah jarak. Artikel-artikel di internet banyak menyisipkan foto-foto mereka berdua.
Smara mengembuskan napas perlahan dan melanjutkan perkataannya, "Smara tahu, Papi suka sama ibu."
"Kami tidak berkencan."
"Mungkin belum, bukan tidak," ralat Smara sambil sedikit tertawa.
"Memangnya boleh?"
Mendadak hening. Ditanya boleh atau tidaknya mengganti posisi pendamping ibunya adalah hal yang masih abu-abu dalam pikiran Smara. Sejak dulu.
Smara pernah—mungkin selalu—berpikir bagaimana jika ibunya menikah, tetapi bukan dengan ayah kandungnya. Apakah ia akan tetap mendapatkan kasih sayang yang tak pernah ayahnya berikan?
Selalu itu yang dulu ia pikirkan. Kasih sayang. Selalu kasih sayang.
Rasa irinya melihat teman-temannya yang bisa berkumpul lengkap dengan Ayah dan Ibu.
Rasa iri melihat foto keluarga di rumah teman-temannya.
Bahkan hal sesimpel temannya diantar jemput oleh ayahnya, Smara pernah mengirikan itu.
Rasa irinya yang membuatnya terobsesi dengan kasih sayang.
Namun, kini umur gadis itu terus bertambah. Melihat foto-foto bahagia ibunya di artikel internet membuat Smara sadar ibunya tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Tersenyum lebar, tertawa, dan mata yang berbinar takjub. Dan itu terjadi ketika ibunya bersama sosok Algino Thuska Mahesa, Papi G-nya.
Smara berterima kasih kepada paparazi yang berhasil menangkap wajah cantik ibunya yang sering dijadikan bahan gosip dengan Gino, si pembisnis sukses yang tak kunjung menikah.
Smara tidak kaget ketika di artikel itu menyebutkan bahwa ibunya adalah tunangan Gino.
Gadis itu rasa, itu pantas.
"Papi ingat apa yang pernah aku minta di stasiun waktu itu?" tanya Smara.
"Kamu minta Papi buat jaga ibu kamu, pastiin ibu kamu bahagia, dan jangan sampai ibu kamu dikasarin lagi sama ayah kamu."
"Apa Papi juga tahu apa yang aku ucapin di dalam hati pas Papi meluk aku?"
Tentu saja tidak.
Smara menyunggingkan senyum meski ia sedang sendirian di kamar kosnya. "Smara selalu berharap bisa punya ayah kayak Papi. Siapapun yang nanti jadi istri Papi, dia wanita paling beruntung. Itu yang Smara ucapin di dalam hati pas Papi meluk aku."
Lenggang sejenak.
Smara menebak Papi G-nya itu sedang terkejut. "Apa Papi bisa jadiin ibu aku sebagai wanita paling beruntung itu?"
Kini Smara mendengar Gino terisak singkat. "Apa itu permintaan?"
"Itu perintah, Papi."
Tawa pelan Gino terdengar. "Papi yang bakal jadi pria paling beruntung jika memiliki kalian."
Hangat menjelajar ke hati Smara, senyum gadis itu semakin tinggi disertai air mata yang menetes. "Smara pengin pulang ke sana, Papi. Smara kangen Papi sama ibu."
![](https://img.wattpad.com/cover/248785946-288-k984464.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...