Berjam-jam Smara termenung sendirian di kamar, mengkaji ulang spekulasinya tentang Reon yang bukan anak kandung Melvin maupun Gino. Kemarin ia hanya mendengar potongan kata dari mulut Gino, ia takut salah dengar. Namun, dari ekspresi Gino dan Alya tadi, Smara yakin ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, lebih dari kejadian di hari gedung hari itu.
Semakin banyak pertanyaan yang menyulusup di pikiran Smara.
"Alasan ibu tiba-tiba nyerah aja gue belum tau," gumam Smara. "Sekarang, ibu pergi lagi sama om Gino. Dari kapan mereka saling kenal?"
Smara menatap heran ponselnya. Reon sejak tadi tak bisa dihubungi. Bahkan sejak beberapa hari yang lalu mereka tak bertemu lagi.
"Ini lagi, ke mana sih tuh cowok," gerutu Smara ketika suara operator yang lagi-lagi menjawab sambungan teleponnya dengan Reon.
Desingan mesin mobil terdengar, dari balik jendela ia memperhatikan mobil hitam yang terparkir di depan pagar rumah. Tak salah lagi, itu mobil yang tadi siang membawa ibunya pergi. Mobil Gino.
Smara memicingkan matanya. "Lama banget, mereka ngapain sih di mobil terus?" gumamnya.
Meski sedikit pencahayaan, Smara masih bisa melihat Alya dan Gino sedang mengobrol. Nyaris satu jam Smara memperhatikan dua orang yang tak kunjung keluar dari mobil itu.
"Lya," panggil Gino.
Smara kini bisa mendengar suara Gino yang sedang keluar dari mobil, menyusul Alya.
"Iya, saya dulu intel. Tapi, saya berhenti kerja bukan karena masalah itu," ujar ibunya.
Smara mengernyitkan alis. "Ibu berhenti kerja?" gumamnya.
"Pecel lele untuk Smara ketinggalan." Gino menyerahkan bungkusan plastik.
"Thanks."
"Lya," panggil Gino sebelum ibunya menutup pagar.
Alya menoleh.
"Kenapa kamu menginginkan perceraian Melvin dan Zira?"
Smara merapatkan diri ke jendela, pembahasan yang menarik. Bukankah ibunya sudah menyerah?
Atau ibunya kemarin seperti dirinya...
"Karena Smara dan impiannya yang ingin keluarga yang sah," balas Alya, bergumam.
...berpura-pura?
Gino tersenyum. "Sampai jumpa besok, Lya. Dan sampaikan selamat makan buat Smara."
Alya mengangguk. "Gino," panggil ibunya ketika Gino hendak masuk ke dalam mobil.
Pria yang dipanggil menatap Alya.
"Kuncinya mungkin ada di Melvin. Bukan di Zira aja. Bisa kita diskusi lagi besok?"
"Kuncinya ada di ayah?" ulang Smara. "Kunci apa? Selama ini ibu sama om Gino diskusiin apaan, sih?"
"Sure," balas Gino. Lalu, mobil hitam yang sudah satu jam terparkir itu beranjak pergi.
"Smara." Alya telah membuka pintu, wanita itu memanggilnya.
Sejak Alya melangkahkan kaki ke dalam rumah, Smara sudah berlindung di bawah selimut. Pura-pura tidur.
Usapan lembut menyambut kepala Smara, Alya mengecup singkat dahi putrinya. "Smara," panggilnya pelan.
Perlahan, Smara membuka matanya. Senyum lebar ibunya tampak di depan mata.
"Makan yuk," ajak ibunya. "Kamu dari siang belum makan, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...