Smara menatap hampa luka-luka pada kakinya yang sedang diobati Alya. Mata ibunya memerah, satu dua air mata mengalir di pipi wanita itu.
"Aku nggak kenapa-napa, kok, Bu." Tangan Smara mengusap air mata ibunya. "Jangan nangis."
Alya memaksakan senyum. Ia berusaha berhenti menangis.
"Bu, aku boleh tanya sesuatu?" tanya gadis itu.
Alya mengangguk.
"Ibu sama ayah dulu pernah dijebak, ya?"
Alya terhenyak.
"Aku tadi dengar ayah ngomong kalo ibu sama ayah dulu pas tugas dijebak ... pake obat perangsang gitu?"
Alya memalingkan muka, menahan isakan. "Itu udah lama, Ra. Masa lalu."
"Berarti aku anak yang nggak diinginkan, ya, Bu? Apa Ibu nyesal ngelahirin aku?"
Alya menggeleng, wanita itu kembali menitikan air mata. "Ibu nggak pernah nyesal lahirin kamu. Kamu segalanya buat Ibu."
"Tapi, kayaknya ayah yang nyesal, ya, Bu? Apa ayah pernah minta buat gugurin aku?"
Alya memeluk Smara. "Nggak, Ra. Kami nggak pernah menyesal."
"Terus kenapa kalian nggak menikah dan hidup bersama?"
Alya menangkup wajah putrinya. "Dengar, Ibu mau cerita."
Smara mengangguk kecil.
Alya menarik napas di sela-sela air matanya berjatuhan. "Ayah kamu itu dari zaman SMA udah dijodohin sama Zira. Mereka saling mencintai, Ra. Tapi, mereka harus terpisah sementara karena ayah kamu sekolah intelijen sama kayak Ibu. Dari sekolah intel itu kami saling kenal dan bersahabat. Ayah kamu bahkan cerita ke Ibu kalo seudah pendidikan intelnya mau menikahi Zira. Tapi, ada satu peristiwa yang nggak kami duga. Dijebak itu." Alya menarik napas, menenangkan diri.
"Apa Ibu mencintai ayah?" tanya Smara.
Alya terdiam. "Ibu cinta sama kamu, Smara."
"Ibu pasti mencintai ayah." Smara tersenyum tipis, menyimpulkan. "Makasih, Bu."
Alya menatap putrinya.
"Makasih udah lahirin aku. Makasih pernah berjuang buat ngabulin impian Smara, walaupun gagal. Makasih udah ada buat Smara di saat semua orang milih Zira."
Alya kembali mendekap putrinya. "Ibu sayang kamu. Maafin Ibu, Ra."
Mereka tidak menyadari bahwa selama itu Melvin diam di ambang pintu, mendengarkan dengan mata yang memerah.
"Smara," panggil pria itu, suaranya serak.
Ibu dan anak itu menoleh, tersentak kaget.
Smara tersenyum lebar. Layaknya anak kecil, Smara tertatih-tatih mendekati sang ayah dan memeluknya erat. "Ayah," panggilnya.
Melvin membalas dekapan putrinya, ia mencium lama puncak kepala Smara. "Maafin Ayah, Ra."
"Nggak apa-apa, yang penting Ayah pulang dan milih aku dan ibu sekarang. Ayah udah cerain Zira, kan? Makanya sekarang udah pulang."
Alya dan Melvin saling melempar tatapan.
"Kok diam? Ayah udah cerain Zira, kan?" Smara mulai menuntut. "Zira bilang, dia udah gugat cerai ayah kemarin malam. Pasti Ayah udah terima gugatan itu, kan? Ayah setuju cerai sama Zira, kan?"
Melvin menggeleng pelan. Raut Smara seketika datar, tanpa senyum.
"Kenapa?" tanya Smara. "Ibu cinta sama Ayah. Ayah juga cinta 'kan sama ibu? Kita bisa bangun keluarga yang paling bahagia, paling sempurna bersama. Benar nggak, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...