35 - Cogitation

242 34 8
                                    

Mata Smara masih berbinar. Gedung pengadilan adalah hal baru yang dikaguminya karena di sana segala perkara diproses dengan mendambakan keadilan.

Empat pilar besar menjadi tameng utama gedung pengadilan bercat putih gading itu. Kemegahan dan kewibawaan hukum tercermin secara arsitektural pada bagungan gedung dengan gaya Romawi tersebut. Keluar masuk pria dan wanita berjas necis dari pintu utama pengadilan itu.

"Kamu baru pertama kali ke sini?" tanya seseorang.

Saking hanyut dalam mengagumi kemegahan gedung pengadilan, Smara melupakan Gino yang sejak tadi menemaninya.

Smara mengangguk.

"Apa yang menarik dari gedung itu, Smara?"

"Empat pilar itu, Om." Smara menunjuk empat pilar yang berdiri kokoh di depan gedung.

"Kamu tahu makna empat pilar itu?"

Smara mengernyitkan alis. "Smara sering liat di TV, kalo gak salah, ada empat kursi yang jadi penguasa di setiap ruang pengadilan. Kayak kursi hakim beserta jajarannya, itu ada empat 'kan, Om? Jadi pilarnya juga ada empat karena mereka yang jadi penguasanya."

Gino tertawa. "Enak ya jadi hakim beserta jajarannya udah dibuatin pilar di setiap gedung pengadilan."

"Eh?" Smara terheran-heran. "Apa yang Smara bilang tadi benar, Om?"

"Benar enggak, salah juga enggak." Gino masih tersenyum lebar. "Mungkin ada kaitannya."

"Terus arti empat pilar itu apa?"

Gino menarik napas sambil menatap empat pilar yang berdiri kokoh di sisi depan gedung pengadilan. "Setahu Om, empat pilar itu melambangkan Empat Lingkungan Peradilan, ada Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer."

Smara mangut-mangut, mengerti.

"Tapi, ada yang bilang juga arti empat pilar itu melambangkan Empat Pilar Kebangsaan." Gino menatap gadis di sampingnya. "Kamu tahu apa aja Empat Pilar Kebangsaan itu?"

Smara ragu, ia pernah mendengarkan guru PPKN menjelaskan materi itu. "Pancasila dan UUD 1945, bukan?" tanyanya.

"Dua lagi?"

Smara menggeleng. "Nggak tahu."

"Bentuk negara dan semboyan negara kita apa?" tanya Gino.

Smara berpikir sejenak. "NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Jadi, empat pilar di gedung pengadilan bisa diartiin kayak..." Smara mengacungkan tangannya ke arah pilar-pilar gedung. "Pilar pertama Pancasila, pilar kedua UUD 1945, pilar ketiga NKRI, dan pilar keempat Bhineka Tunggal Ika."

Gino mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

"Smara, ayo pulang." Alya tiba-tiba datang dan menarik lengan putrinya.

Baru saja Smara tersenyum senang karena mengetahui arti lain dari empat pilar gedung pengadilan, tapi Alya telah menghancurkan senyum putrinya.

Alya kembali entah dari mana bersama Melvin di belakangnya. Raut wajah mereka saling berkebalikan. Melvin tampak tenang, sedangkan Alya tampak gelisah.

"Ibu." Smara tertatih-tatih mengimbangi langkah sang ibu yang menyeretnya.

"Seharusnya kamu jangan ikut ayah, Smara," ujar Alya.

"Lya." Gino menyusuli mereka.

"Bu, Smara gak mau pulang. Smara mau di sini!" Smara mulai memberontak.

"Mau apa kamu di sini, Smara?!"

"Ibu sendiri ngapain di sini sama om Gino dan ayah? Pasti ada sesuatu yang ibu gak kasih tahu ke aku, kan?!"

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang