Selain tak bisa memahami pemikiran bundanya, Reon juga menganggap bundanya gila.
Dulu gila kerja.
Sekarang benar-benar gila.
Pergi ke luar kota hanya berbekal banyak uang tunai dan satu kartu debit. Zira dan Reon kini berada di luar provinsi DKI Jakarta.
"Bunda, Reon nggak mau!" Reon kembali menolak, ketiga kalinya.
"Harus!" paksa Zira sambil memaksa Reon duduk di kursi barber shop. "Mas tolong botakin dia," suruh Zira kepada tukang cukur rambut itu.
"Bunda!" Reon berseru.
Sesampainya di kota itu, Zira merubah penampilannya. Mulai dari rambut yang dipangkas dengan potongan bob, iris mata berwarna hitam pekat karena memakai soflent, bibir dipoles lipstik warna merah terang dan mencolok, hingga gaya berpakaiannya yang seadanya, tidak mewah.
Reon nyaris menangisi rambut kesayangannya yang kini berjatuhan ke lantai. Ia resmi botak karena paksaan bundanya. Tak hanya rambut, Reon juga kini terpaksa berpakaian sederhana. Tak ada lagi baju-baju mahal selembut sutra.
Bahkan di kota yang Reon tak pernah kunjungi ini, ia dan bundanya mengontrak rumah di gang. Ini benar-benar bukan gaya kehidupan Reon yang dulu bergelimang harta dan ke mana-mana pasti menggunakan kendaraan pribadi.
Hidupnya jungkir balik menjadi orang yang dipaksa sederhana nyaris seperti miskin.
"Bunda, Reon mau kita kembali ke Jakarta," tuntut Reon.
Zira berselonjoran kaki di lantai rumah kontrakan tanpa alas. Ia menghela napas. "Nggak bisa, Reon."
Reon berdecak. "Maksud Bunda apa tiba-tiba keluar kota dan tinggal di sini?"
"Bunda cuma mau kamu aman, Reon."
Selalu jawaban seperti itu.
"Reon nggak suka tinggal di sini. Nggak ada motor, gang kumuh, orang-orang sekitar yang pada kepo." Reon menggerutu sambil melirik jendela rumah, ada beberapa orang yang terang-terangan menatap ke arah rumah.
Zira tersenyum tipis, ia beringusut mendekati putranya. "Reon, bisa sabar, kan? Minimal satu tahun aja kita tinggal di kota ini, ya?"
Reon melotot. "Minimal satu tahun?!" serunya. Ia yakin orang-orang itu bisa mendengarnya.
Zira mengangguk. "Reon bisa 'kan jangan hubungin siapapun dari orang-orang di Jakarta?" pintanya.
"Tapi, kenapa Bunda? Emang kalo di Jakarta Reon nggak aman? Kan ada papah yang bisa jaga Reon."
Zira mengusap pipi Reon. "Sabar, ya? Bunda pasti dan janji bakal kasih tahu semuanya kalo waktunya udah tepat."
Reon menghela napas. "Bunda juga sampai sekarang belum jawab, aku sebenarnya anak siapa. Padahal Reon udah ikut Bunda."
"Bunda nggak bisa jawab sekarang, Reon. Tapi, Bunda janji bakal kasih tau. Lagipula kalo di sini, Reon bisa terus sama bunda tiap waktu." Zira terkekeh, mencairkan suasana. "Bunda mau belajar jadi bunda yang benaran buat Reon."
Reon terdiam, menatap manik mata hitam pekat bundanya. Tak ada lagi jawaban selain helaan napas disertai anggukan dari laki-laki itu.
* * *
Smara tidak depresi, apalagi gila.
Itu hanya akting.
Untuk menarik simpati kedua orangtuanya.
Apapun akan Smara lakukan untuk mewujudkan semua impiannya.
Smara tahu, kemarin Melvin hampir terjerumus dalam aktingnya, hampir simpati dan mungkin hampir mewujudkan impiannya karena gadis itu telah mati-matian memohon. Namun, entah kesialan dari mana, ia memiliki kendala lain; Alya, ibunya sendiri yang tiba-tiba tak sejalan dengan impiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...