8 - Halte Sekolah

359 87 52
                                    

Halte bercat hijau dengan stiker Go-Jek yang terpempel menjadi tempat merenung Smara, atap halte tersebut tertimbun daun-daun hijau yang merambat dari pohon luar halaman sekolah Smara.

Smara tahu tempat ia merenung ini adalah shelter Go-Jek, tapi Smara selalu menunggu angkot di tempat itu. Makanya tak jarang kerusuhan kecil terjadi hanya karena penumpang gadis yang keras kepala itu.

Diamnya gadis itu di halte, membuat ia berkali-kali ditinggalkan angkot dan tak jarang tukang ojek online mengira Smara calon penumpangnya. Saat ini Smara sedang merenung kejadian tadi pagi.

Suasana pagi yang mendung tadi tampak berbeda. Dua mangkuk bubur ayam tersaji di meja makan. Smara menangkap senyum Melvin yang sedang mengambil dua sendok. Smara memicingkan matanya, merasa aneh melihat ayahnya ada di rumah.

“Hari ini dan besok terakhir kamu sekolah biasa, Senin udah mulai ujian nasional, kan?” tanya Melvin.

Smara tak menjawab dan tak peduli Melvin tahu dari mana hari Senin sudah mulai ujian nasional.

“Smara,” panggil Melvin. “Sarapan dulu.” Melvin menahan tangan Smara saat gadis itu melangkah keluar rumah.

Smara berdecak, dengan malas ia melangkah mendekati sumber wangi bubur ayam. Setelah selesai dengan sarapannya, ia melangkah terburu-buru keluar rumah. Mobil sedan hitam nyaris membuat Smara terserempet, jika seseorang menarik tubuhnya.

“Ini baru jam setengah tujuh kurang, kenapa buru-buru?” tanya Melvin yang mengikuti putrinya.

Smara tak menjawab, ia memberhentikan angkot. “Ngapain ikut naik?” tanya Smara saat Melvin duduk di sampingnya.

“Kamu ‘kan suka sirik sama teman-teman kamu yang diantar ke sekolah sama ayahnya.” Melvin mengusap sudut bibir Smara yang ternodai sedikit kecap dari bubur tadi. “Gak masalah ‘kan kalo Ayah anter kamu cuma pake angkot?” tanyanya.

Smara membuang muka. Sial, matanya malah memanas di cuaca pagi yang dingin ini.

Melvin meraih tangan Smara saat mereka telah tiba di depan gerbang sekolah, pria itu menyelipkan selembar uang berwarna merah pada telapak tangan putrinya.

“Dua minggu ke depan, Ayah janji bakal antar jemput kamu.” Melvin memeluk putrinya sambil mengusap puncak kepala Smara. “Semangat belajarnya, Senin udah mulai ujian. Jangan lupa berdoa biar semuanya lancar, doain juga ibu kamu yang lagi tugas, semoga bisa pulang selamat.”

Smara hanya bungkam mendengar perkataan Melvin, matanya menatap sosok yang berdiam diri di seberang jalan. Reon tersenyum tipis dari gerbang sekolah elitnya sambil menyaksikan Smara yang meneteskan air mata dalam pelukan singkat Melvin.

Gerumuruh halilintar menggelegar, membuat Smara mengerjapkan matanya dan sadar sudah beberapa kali ia mengingat kejadian tadi pagi. Smara memperhatikan ke sekelilingnya, sepi. Ini sudah diluar waktu jam pulang sekolah.

Sejak tadi Smara melamun bukan untuk menunggu angkot, tapi ia sedang menunggu Melvin yang berjanji selama dua minggu kedepan akan mengantar jemput dirinya.

Bullshit,” gumam Smara.

Hal sia-sia, tapi tetap ia lakukan hingga detik ini, menunggu Melvin menjemputnya.

“Gak balik?” tanya seseorang dari hadapan Smara.

Tanpa mendongakkan kepalanya, Smara tahu pemilik suara itu. Wangi parfum kopi yang akhir-akhir ini meracuni hidungnya, Smara menarik napas dengan tenang.

“Gak.” Smara mendongak, menatap Reon yang berdiri di hadapannya. “Akhir-akhir ini lo gak pake topi tukang parkir lagi.”

Sudut bibir Reon terangkat. “Kenapa? Gue lebih keren pake topi?”

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang