43 - Pengakhiran untuk Permulaan

221 35 16
                                    

Setelah Reon tahu semuanya dari mulut Melvin, laki-laki itu pergi. Seharusnya Melvin membawanya ke rumah Gino bukan ke rumah tempat tinggal Zira dan Melvin.

Zira dan Melvin tak sempat mencegah putra mereka pergi. Wanita berambut pendek itu meneteskan air mata, masih teringat-ingat perkataan putranya.

"Smara udah tau?" tanya Reon sebelum laki-laki itu pergi.

Melvin menggeleng pelan. Dua laki-laki itu saling bersitatap, membuat Zira sadar manik mata putranya berwarna biru dengan paduan abu sayu milik Melvin.

Mata Reon menatap Zira, tatapan putranya bahkan mirip dengan Melvin. Tajam.

"Kenapa Bunda ngelakuin itu?"

Bagaimana bisa ia menjawab karena ia kecewa dulu kepada Melvin, sehingga putranya sendiri menjadi korban? Zira memutuskan untuk tak menjawab.

"Reon lebih baik lahir sebagai anak kandung papah untuk balas dendam Bunda ke Om Melvin daripada kayak sekarang." Laki-laki itu mengangkat sebelah sudut bibirnya, alis lebalnya berkerut kecil. "Smara gak pernah salah menilai orang dan Smara gak pernah salah untuk membenci orang. Reon setuju panggilan yang Smara kasih buat Bunda."

"Ayah, Zira ber-bo-hong." Kalimat pertama terlontar dari mulut Smara. "Jangan percaya sama wanita munafik sialan itu!" bentaknya.

"Ayah, Smara minta Ayah cerain wanita munafik sialan itu!" bentak Smara.

"Dasar wanita munafik sialan! Ayah, Smara nggak bohong! Ayah udah baca juga akta kelahiran itu!"

"Benar-benar wanita munafik sialan!" cecar gadis itu. "JANGAN NGADA-NGADA, ZIRA! AKTA KELAHIRAN ITU ASLI! NGGAK LIHAT STEMPEL DAN TANDA TANGAN KEPALA KANTOR KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL DI AKTA KELAHIRAN ITU?!"

Tatapan kecewa dan rendah Reon berhasil membuat mata Zira memburam, air mata mengumpul di pelupuk matanya.

"Wanita munafik," lanjut Reon dengan suara bergetar. "Reon kecewa sama Bunda."

Zira mengerjap, air matanya jatuh. Ia tak pernah merasa secewa ini ketika putranya melontar kata-kata yang mampu membuatnya terdiam lama.

Zira pikir dengan seminggu mereka tinggal bersama, akan terjalin hubungan layaknya ibu dan anak pada umumnya.

Ada banyak alasan mengapa Zira memilih pergi kabur, salah satunya ini; takut putranya kecewa dengan fakta bahwa Reon anak kandung Melvin. Dan itu terbukti.

Reon pasti pulang ke rumah Gino.

"Aku harus pulang, Mel." Zira bergegas keluar rumah.

Pulang?

Bukankah Melvin tempat ia pulang?

Akan ke mana ia pulang?

Gino? Pria yang ia tinggalkan dengan sejuta pertanyaan dan kekecewaan? Pantaskah ia pulang ke pria itu?

Menjelaskan semuanya ke Reon saja Zira tak sanggup, bagaimana ia menjelaskan semuanya kepada pria itu?

Zira membalikkan badan, ada Melvin yang menatapnya dari pintu rumah. Menunggu Zira kembali ke rumah.

"Reon pasti ke rumah Gino, Mel. Aku harus nyusul ke sana," lirih wanita itu.

Penyangkalan. Zira hanya sedang bingung. Ia dihadapi untuk memilih Melvin dan Gino.

"Aku antar." Melvin meninggalkan pintu rumah dan masuk ke dalam mobil yang diikuti oleh Zira.

Belum usai rasa kecewa yang menyesakkan dada, Zira diserbu pertanyaan-pertanyaan yang entah datang dari mana.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang