12 - Iblis Cilik

288 66 30
                                    

"Smara kamu udah nunggu Ayah dari tadi?" Melvin bertanya sambil menatap cemas putrinya yang dirundung semburat merah di wajahnya.

Mata Smara masih menatap tajam kepergian mobil hitam Zira, jika saja Reon tak mengancamnya, sudah pasti akan ada pertikaian besar terjadi saat Zira menjemput Reon dan Melvin menjemput Smara.

"Kamu tadi nunggu di sini sama Reon?" Melvin kembali bertanya.

Smara mengalihkan tatapannya ke bangku halte, ada brosur promo bimbingan yang tadi Reon gunakan untuk mengipasi air mata di pipi Smara tadi.

"Ayah ngapain ke sini?" tanya balik Smara dengan sinis, sambil mengambil kasar brosur bimbingan itu dan memasukkannya ke dalam tas.

"Ayah mau jemput kamu."

"Smara udah gak sirik sama teman-teman yang sering diantar jemput sama ayahnya. Jadi Ayah gak usah buang-buang waktu buat antar-jemput Smara." Smara mendengus kesal, kemarin saja Melvin tak menjemputnya sesuai janji. Namun, setelah Smara menyindir pria itu, baru sekarang menjemputnya.

Melvin mengikuti langkah Smara yang beranjak dari halte, tangan Melvin fokus memayungi kepala putrinya agar tak terkena satu tetesan air hujan, meskipun Melvin mengorbankan dirinya hujan-hujanan.

Smara berhenti berjalan cepat, ia berbalik melihat Melvin yang nyaris basah kuyup. Smara mengambil payung dari tangan ayahnya dan memayungi kepala mereka berdua.

"Ayah gak usah ngorbanin diri Ayah sendiri, masih ada anak yang harus dapat perlakuan Ayah kayak ke Smara tadi," ujar Smara, satu tangannya melambai ke angkot yang masih jauh di ujung jalan.

"Ayah gak ngerti kamu ngomong apa, Ra," sahut Melvin.

"Smara juga gak ngerti sama Ayah." Setelah itu, Smara masuk ke dalam angkot yang berhenti di dekatnya.

Melvin menutup payungnya dan ikut masuk ke dalam angkot itu. Melvin memperhatikan mata cokelat putrinya itu diselaputi oleh cairan bening. Melvin mengakui bahwa ia tak bisa mengenal baik putrinya sebagaimana tugas seorang Ayah pada umumnya.

Melvin menarik napasnya, ia sudah janji kepada dirinya sendiri untuk membangun hubungan yang baik dengan putrinya selama ia cuti dua minggu ini. Namun, entah bagaimana ia membangun hubungan baik itu, jika sejak awal saja Smara sudah kecewa dengan dirinya.

"Smara." Melvin meraih tangan putrinya saat mereka turun di halte seberang perumahan.

Smara meneteskan cairan bening yang dari tadi menyelimuti matanya dan Melvin melihat itu.

Tak ada yang bisa membuat Melvin sakit selain melihat air mata yang mengalir di mata perempuan yang ia sayangi. Kemarin ia melihat Zira menangis dan sekarang ia melihat putrinya yang meneteskan air matanya.

Rasa kecewa kepada dirinya sendiri kembali dirasakan Melvin.

"Apa Ayah selalu menatap anak Ayah yang lain seperti itu?" tanya Smara sambil mengusap pipinya yang basah.

Hanya ada dua reaksi dari Smara ketika bersama Melvin. Jika tak emosi dan marah-marah, maka Smara akan meneteskan air matanya. Smara merindukan kasih sayang ayahnya, tapi ia lebih dahulu dikecewakan dan tak tahu harus marah atau sedih setiap ia bersama Melvin.

Smara mengerti arti tatapan ayahnya tadi; kecewa. Entah kecewa kepada siapa.

"Anak Ayah yang lain?" Melvin mengulang perkataan Smara. "Anak Ayah cuma kamu, Ra."

"Aku cuma anak Ayah?" tanya Smara.

Melvin mengangguk.

"Ayah aja yang gak nikah sama ibu bisa punya anak, apalagi Ayah yang nikah sama Zira. Ayah pasti punya anak dari Zira, kan? Aku pasti bukan anak Ayah satu-satunya." Smara tersenyum, ia mengingat perkataan Reon yang menyuruhnya menjaga sikap kepada Melvin dan Zira.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang