"Lo mau, ya jadi partner gue." Smara menatap Reon dengan puppy eyesnya. "Simpel, kok, lo gak perlu banyak action. Cukup kasih gue akta kelahiran lo doang ke gue, seudah itu gue yang ngelancarin misinya."
Hujan reda ketika langit berwarna gelap, Reon berinisiatif mengantarkan Smara meski menggunakan angkot. Dua remaja berbeda seragam SMP itu akhirnya meninggalkan halte bercat hijau, tempat diskusi mereka tadi.
"Reon, mau ya?" Smara mendesak Reon agar menerima permintaannya.
Reon sudah bosan mendengar permintaan Smara sejak dari halte tadi, ia hanya menghela napas tanpa menjawab.
"Gue bayarin, deh ongkos angkot lo. Tapi, lo harus mau ya jadi partner gue!" kata Smara. "Mang kiri, Mang!"
"Gue bisa bayar sendiri." Reon yang posisinya lebih dekat dengan pintu angkot itu, turun duluan dan membayar ongkos mereka berdua.
"Dek, ini kembaliannya," ujar Mang angkot.
"Buat Bapak aja."
"Enggak, siniin kembaliannya!" sela Smara yang langsung merebut beberapa lembar uang di tangan Mang angkot.
Angkot yang tadi mengangkut mereka berlalu, dua remaja itu berdiam sebentar di halte seberang perumahan Smara.
"Nih." Smara memberikan uang kembalian tadi. "Kalo naik angkot, pake uang receh jangan pake uang yang gede. Untung tukang angkotnya baik mau ngasih kembalian, coba kalo tukang angkotnya nipu terus langsung nancap gas."
Reon tersenyum kecil mendengar petuah dari Smara. "Gue gak ada uang receh."
"Ya lo tukerin dulu, lah. Nih, ya gue kasih tau. Setiap tukang angkot berhenti terus ngitung uang buat kembalian itu bakal ngelamain waktu. Bisa jadi 'kan penumpang lain ada urusan yang buru-buru, tapi waktunya kehambat sama tukang angkot yang ngitungin uang kembalian."
"Iya, Ra."
Smara mengacungkan jempolnya, Reon mendengar perkataannya. "Lo mau 'kan jadi partner gue?" Semoga saja Reon mendengarkannya.
"Udah malem, nanti gue pikirin."
"Besok gue harus udah denger jawabannya, ya!" Smara memandang tubuhnya yang terbungkus jas sekolah Reon. "Oh, iya, nih jas lo. Lo udah mau pulang?" Smara melepaskan jas sekolah Reon dari tubuhnya dan memberikannya kepada cowok itu.
"Gue antar lo dulu sampai rumah."
Smara tertawa. "Gak usah lah, rumah gue keliatan dari sini juga. Tinggal nyeberang, jalan bentar, udah deh sampe. Gue tunggu lo dijemput sebagai ucapan terima kasih karena lo udah anter gue plus udah bayarin ongkos angkot. Itu gak bakal jadi hutang, kan?"
Reon tertawa kecil dan mengutip perkataan Smara kemarin. "Gue gak seperhitungan itu, ongkos angkot gak seberapa bagi gue."
Smara melongo, di halte tadi ia melihat Reon tersenyum dan sekarang ia mendengar Reon tertawa. Buru-buru Smara menggeleng saat ia masih terpana dengan sosok cowok di sampingnya.
"K-kok lo nurutin kata-kata gue, sih! Lo orangnya perhitungan tau! Kalo enggak perhitungan berarti bukan lo." Smara memalingkan wajahnya sambil berdecak kesal karena jantungnya malah berdebar kencang.
"Ya udah kalo lo mau itu dijadiin hutang. Lo balik aja, gue belum minta dijemput."
Smara mendengus. "Lo sekarang bilang ke supir minta dijemput."
Reon menjauh dari Smara, ia menelepon supirnya. Sementara Smara duduk di halte dan mengusap menyilang lengan atasnya, baju seragamnya sedikit kebasahan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...