Seharusnya Smara sudah masuk rumah sakit jiwa.
Bukan hanya dirinya saja, tetapi semua orang-orang yang terlibat dengan hidupnya juga seharusnya masuk rumah sakit jiwa.
Sudut bibir Alya pernah berdarah karena Melvin menamparnya dan itu membuat Smara semakin benci ayahnya yang sebelumnya tak pernah Smara cap sebagai pria kasar.
Dan satu bulan yang lalu, ayahnya menelepon hanya untuk menunjukkan wajah rusaknya.
"Papi," panggil Smara. Alya dan Gino sedang mengunjungi kota tempat tinggalnya, mereka juga serempak hadir di rapat orang tua siswa.
Smara dan Gino terlalu terlihat mencolok ketika keluar dari ruang rapat sekolah. Seragam Smara selalu berantakan, garis wajahnya cantik mirip dengan Alya dan menunjukkan pribadi yang keras kepala. Sedangkan Gino tak pernah lepas dari balutan jas necis yang sukses membuat orang-orang terpana.
Smara mendengus pelan, dekat dengan Melvin ataupun Gino, orang-orang di sekitarnya menatap seolah mereka adalah sepasang kekasih. Terlihat seperti sugar daddy dan sugar baby-nya.
"Kenapa, Princess?" Gino bertanya, pria itu menaruh perhatian penuh kepada putri Alya itu.
Kenapa ayah, Papi, Zira, dan ibu tak menua?
Namun, yang keluar dari mulut Smara bukan pertanyaan itu. "Makasih, Papi. Udah jauh-jauh datang ke sini buat nganter ibu rapat. Harusnya... ibu datang sama ayah," cicit gadis itu.
Gino mengusap puncak kepala Smara. "Papi senang bisa ketemu kamu lagi. Ayah kamu lagi dinas di luar kota, Ra."
Omong-omong soal itu, apakah mereka sudah tahu keadaan Melvin? Sepertinya belum, pikir Smara.
Alya keluar dari kelas yang dijadikan ruang rapat. Wanita itu menatap datar Smara.
"Kenapa?" tanya Gino.
"Apa benar kamu buat onar waktu acara MPLS?" tanya Alya kepada putrinya.
Smara tersenyum kikuk. Memang benar. Bulan lalu, ia terlalu banyak pikiran, sehingga kesulitan mengontrol emosinya dan meluapkannya ke siapapun, termasuk kepada seluruh panitia MPLS.
"Smara," panggil ibunya dengan nada yang tak bersahabat.
"Iya, Bu." Smara menunduk, ia sudah menyiapkan mentalnya jika dihakimi masal di tempat.
Gino merangkul gadis itu. "Gak apa-apa. Papi juga dulu sering buat onar setiap hari sampai sering dihukum hormat ke tiang bendera sama...."
Smara mendongak. "Sama siapa?"
Alya juga menatap pria itu, menunggu kelanjutannya.
"Tante Zira," lanjut Gino.
Dua wajah wanita itu mendatar, tak minat. Smara menghela napas lega saat ibunya tak memarahinya, justru Alya melangkah lebih dulu keluar sekolah yang diikuti Gino dan Smara.
"Ibu," panggil Smara dari belakang.
"Ya?" balas ibunya tanpa menghentikan langkah. Sepertinya Alya sudah melupakan masalah keributan Smara dengan panitia MPLS.
Smara berlari kecil, menyejajarkan langkah. "Apa ayah pernah nelepon Ibu akhir-akhir ini?"
Alya menggeleng. "Memangnya kenapa?"
Smara menggigit bibirnya, bagaimana cara menjelaskannya? Jika ia bilang Melvin satu bulan yang lalu meneleponnya lewat aplikasi instagram, ibunya pasti akan menyerobot dan memarahinya karena ia memulihkan sosial media lamanya.
Dan dilihat dari raut wajah ibunya yang tampak baik-baik saja, Smara rasa ia tak perlu bercerita daripada membuat ibunya menangis. Intinya ia tak akan membiarkan Alya tahu dari mulutnya langsung, biarkan orang lain yang memberi tahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Ficção AdolescenteKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...