55 - Painful

168 31 17
                                    

Smara kembali ke kota di mana ia menempuh pendidikannya sekarang. Alya kembali menjalani rutinitasnya yang masih menjadi pegawai kasir minimarket. Tak lupa perintah untuk segara resign berdatang setiap hari dari Gino.

"Kalau aku berhenti kerja dari sini, aku nanti kerja apa?" tanya Alya sambil mengisi ulang beberapa produk makanan ringan yang stoknya mulai habis.

Gino melingkar tangannya di pinggang Alya, memeluk wanita itu dari belakang. Pria berjas biru dongker itu menempatkan dagunya di bahu Alya dan berkata, "Kamu gak perlu kerja, Lya."

Alya menggeleng, tak setuju. "Aku bukan tipe wanita yang suka diam di rumah, berleha-leha seudah beres bersih-bersih rumah dan menunggu seseorang datang dan menyambutnya. Aku juga bukan wanita yang suka ikut perjalanan bisnis pasangan aku. Aku bukan wanita seperti itu."

"Aku gak mau kamu kecapean karena kerja setiap hari, Lya."

"Tapi, aku menyukainya, No." Alya membalikkan tubuhnya. "Kita bahas lagi ini pas aku selesai kerja, okay? Lima belas menit lagi shift aku selesai."

Gino terlihat sedikit cemberut membuat Alya gemas sendiri melihatnya. "Oke," jawab pria itu akhirnya.

"Aku harus kembali ke tempat kasir." Alya mengusap pipi Gino, ia harus sedikit berjinjit agar bisa mengecup singkat bibir Gino. "Bye."

Gino menarik tangan Alya ketika wanita itu hendak melangkah pergi. Tubuh Alya langsung berbalik menghadap Gino, ia hampir menubruk dada bidang pria itu.

"Jangan sekarang." Alya menginterupsi Gino yang sudah mendekapnya erat dan hendak menciumnya. "Ada pembeli yang mau bayar," lanjut wanita itu.

Setelah itu, Alya berlari meninggalkan Gino sambil menggulum senyum. Pipinya memerah.

Satu jam berlalu kini mereka sedang melakukan rutinitas mereka setiap sore; berjalan di bawah pohon-pohon tabebuya yang mengelilingi sebuah danau.

Mereka melanjutkan diskusi yang belum usai tadi. Alya dengan keras kepalanya ingin tetap bekerja dan Gino dengan segala keprotektifannya ingin Alya tak bekerja.

Alya melepaskan genggaman tangan Gino. "Kamu malu punya pasangan yang cuma kerja sebagai kasir minimarket?" tuding wanita itu.

Gino langsung menggeleng. "Gak gitu, Lya."

"Kamu malu. Aku tau, No." Alya menatap Gino. "Kamu CEO, kamu jelas malu punya pasangan yang gak sebanding dengan karir kamu."

Gino menghela napas. "Kalau aku malu, aku udah ninggalin kamu dari lama."

"Kamu bisa ninggalin aku sekarang." Alya berjalan cepat meninggalkan Gino di belakangnya.

Pria berjas itu melongkarkan dasinya, ia menghela napas untuk ke sekian kalinya. Semakin ia sering bersama Alya, semakin ia tahu bagaimana karakter Alya yang keras kepala dan sulit dikasih saran.

"Lya." Gino mengambil lengan kanan Alya, membuat wanita itu berhenti melangkah. "Kita harus diskusiin semuanya sebelum kita ke tahap yang lebih serius."

Alya menggeleng dan berkata dengan ragu, "Aku kayaknya bukan pasangan yang tepat buat kamu, No. Pemikiran kita sering gak sejalan. Kita putus aja kali, ya?"

Gino menatap lama Alya. Wanita itu sejak dulu memang selalu tersinggung jika membahas pekerjaan. Dulu saja Gino butuh beberapa bulan agar Alya mengaku pekerjaan lamanya adalah intel, sama seperti Melvin.

Bahu Gino menurun, ia sudah terbiasa mendengar Alya yang selalu merasa tidak percaya diri untuk menjalani hubungan ke jenjang yang lebih serius dengannya dan berujung selalu meminta putus.

HaplessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang