"Setiap orang punya tempat untuk melampiaskan amarahnya, kecewanya, dan rasa sakitnya. Kita butuh dunia baru. Dan organisasi hitam akan menjadi tempat terbaik bagi saya untuk melampiaskan semuanya jika nanti saya ada di titik terendah. Mungkin juga itu akan menjadi dunia baru saya kelak."
"Apa kamu bakal melakukan itu jika Melvin gagal menjadi suami kamu, Lya? Ketika kamu gagal mewujudkan impian Smara?"
Untuk pertanyaan itu, Alya kini tahu pasti jawabannya.
Rambut wanita itu pendek, seleher. Babak belur di wajah adalah hal yang biasa. Tak ada kehangatan dalam sorot matanya semenjak enam bulan yang lalu, mata cokelatnya menjadi kelam dan dingin.
Satu alisnya tak sempurna, sedikit sobek dan ada sedikit jahitan di pelipisnya. Di lehernya ada tato logo organisasi rahasia yang ia jalani hingga sekarang.
Enam bulan terakhir ini, Alya berada di Jepang. Keluar masuk bar adalah rutinitasnya, bukan untuk menjadi pemuas hasrat laki-laki. Melainkan untuk membuang seluruh kenangan sialannya lewat tegakan minuman keras.
Ilmu bela diri yang ia kuasai dipakai untuk melukai siapapun yang berusaha mengganggunya. Tak tanggung-tanggung setiap bar yang ia kunjungi akan selalu ada satu atau dua pria yang harus dibawa ke rumah sakit karena ulah Alya.
Wajah Alya memang lebih banyak menunjukkan luka lebam daripada wajah putih bersih layaknya wanita yang merawat diri. Namun, tingkah beringasnya berhasil membuat pria yang disebut-sebut sebagai mafia Jepang merasa tertarik dengan wanita itu.
Sialnya pria itu bosnya Alya. Ada rasa segan untuk menghajar atasannya sendiri.
Alya mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. "Saya sudah punya anak," ujarnya.
"Saya tahu. Namanya Smara tinggal di Indonesia. Benar bukan?" Pria berjas hitam rapi itu berujar.
Hembusan napas Alya masih berupa asap rokok. Alya tersenyum miring. Ia benci melihat pria yang mengenakan jas layaknya Gino. Ia juga benci dengan pria yang serba tahu mengenai dirinya layaknya Melvin.
"Anda bisa memerintahkan saya untuk membunuh orang. Tapi, saya tidak bisa menjalankan perintah untuk mengencani Anda."
Terdengar bunyi kunci peluru pistol dibuka usai Alya berkata demikian. Alya tahu tiga puluh senti dari belakang kepalanya ada anak buah bosnya yang sedang menodongkan pistol ke kepalanya.
Bos mafia yang tak pernah Alya tahu namanya itu mengangkat dagu Alya, membuang rokok di bibir Alya lalu menginjaknya. "Kencan dengan saya bukan perintah, Alya."
Satu lagi. Alya benci orang lain mengetahui nama aslinya. Padahal ia selalu menggunakan nama samaran.
Sorot mata kelam dan dingin Alya menatap pria bermata sipit yang sedang tersenyum licik.
Bisa dibilang, Alya sedang berada di tempat eksekusi.
Alya telah bertahun-tahun kerja sebagai intel, menjadi preman tak membuatnya bodoh menyelami kehidupan keji ini. Bos mafianya tahu siapa ia sebenarnya dan Alya tak kalah tahu langkah apa harus ia ambil.
Alya menunduk, menatap lantai. Dari bayangan yang ia perhatikan, kurang lebih ada tiga orang di belakangnya. Tiga orang di depannya, termasuk bosnya.
Bosnya kembali menarik dan mengangkat dagunya. Alya reflek memeluknya. Disengaja.
"Maaf." Alya menarik diri usai mencuri pistol dari saku celana bosnya.
Namun, bosnya justru kembali menarik Alya, mendekapnya. "Jadi, apa keputusan kamu, Alya?"
Alya tersenyum miring. "Mengencani Anda memang bukan perintah, tapi jebakan," bisik Alya tepat di telinga bosnya.
Sebelum para anak buah bosnya menarik pelatuk, Alya membelit leher bosnya dengan lengannya, lalu menodongkan pistol ke pelipis pria berjas hitam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Teen FictionKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...