Suasana rumahnya terasa muram. Jujur saja Mira merasa tidak nyaman dengan keadaan yang belum juga membaik. Mereka sudah mendoakan yang terbaik bagi mendiang kakaknya. Bukannya kini mereka harus berhenti bersedih dan kembali maju kedepan?
"Apa ada yang mengganggu pikiran Ibu? Ibu terlihat tidak baik belakangan ini.." Melihat tatapan kosong dan raut yang tampak begitu bingung membuatnya khawatir. Mira memegang tangan ibunya yang masih tenggelam dalam pikirannya. "Huh, Mira.. ada apa?"
Tanggapan itu justru membuat Mira semakin khawatir, "Katakan pada Mira.. aku ingin membantu.." Tapi dibalas dengan gelengan.
"Ayolah, tidak baik menyimpan kekhawatiran sendiri, itu bisa membuat Ibu sakit.." Ia mengusap lembut tangan Ibunya.
Ia sedikit bimbang untuk mengatakannya, "Mira.. kau tidak perlu khawatir.. hal ini biar Ibu yang mengurusnya sendiri.." Gadis itu tersenyum kecewa. Dibujukpun Ibunya tidak mau berbagi keluh kesah.
Ia keluar dari ruangan berjalan dengan kecewa. Anggota keluarganya masih saja memanjakannya.
Ia berjalan menuju balkon mencari udara segar meskipun hari sudah malam. Ia duduk di ayunan kayu.
"Mira?"
"?!" Gadis itu tersentak, ia sama sekali tidak sadar bibinya duduk di kursi yang ada di samping. "Bibi.. Kaget tau.." Ia mengernyit kesal, tetapi lega melihat sosok bibinya.
"Ck, dasar anak muda banyak pikiran. "
"Bagaimana lagi suasana rumah ini justru semakin suram.." Ia meghela napas pendek."Pfft, hahah, kalau itu sih sudah jelas.." Bibinya meminum segelas rum dalam sekali teguk.
"Aish, bibi kau mabuk-mabukan lagi?" Mira memberhentikan ayunannya dan mengambil botol serta gelas rum bibinya. "Daripada mabuk-mabukan tidak jelas, sebaiknya Bibi pulang dan selesaikan permasalahan Anda dengan Paman.. haah.." Rasanya justru tambah putus asa.
"Ibumu.. Ibumu pasti bimbang karena gadis itu.." Bibinya yang mabuk itu tersenyum miring.
"Hm?" Mira memfokuskan perhatiannya pada ucapan Bibinya.
"Mira.. kau sudah tau kan, kalau kau bukan anak kandung keluarga ini?" Wanita itu mendengus, "Pastinya kau tahu, kau kan pintar.."
"Haah.. Bibi.. Anda sudah mabuk, sebaiknya beristirahat." Ia tidak ingin mendengar hal yang menambah mood buruknya. Ia tengah berjalan menuju ke kamar ketika mendengar, "Gadis itu.. anak kandung Ibumu! Hehe.. ada di rumah ini loh.. Kau tidak tau ya?" Sekejap kata-kata itu dicerna. Wajahnya langsung berubah menjadi serius.
"Dimana?" Ia bertanya dengan wajah asam.
"Di rumah ini.."
"Tepatnya diruang mana?!" Ia menahan diri untuk tidak berteriak.
"Ruangan.." Bibinya terkekeh, menunjuk botol rum yang disita oleh Mira.Ia berusaha tetap sabar, ia meletakkan gelas ke meja dan menuangkan rum kedalamnya. "Dimana?" Ia tersenyum tapi alisnya tegang. "Lantai bawah tanah ruang kerja ayahmu."
Mira mengangkat alisnya dan mengangkat satu sudut bibirnya kesal. Kakinya langsung bergerak cepat untuk memeriksa kebenaran dengan matanya sendiri.
"I_Ibu?" Ia melihat ibunya yang tengah menuruni tangga. "Mira?? Apa yang kau lakukan? Kenapa belum tidur?" Pikiran Mira semakin menjadi-jadi.
"Ibu sendiri.. apa mau menemui Mo_ca?" Ia sudah menyiapkan hatinya untuk hal yang akan ia dengar.
"Siapa Moca?" Mira mengernyit, memproses perkataan Ibunya. "Eh?" Otot wajahnya seketika kendur.
"Kenapa kamu berpikir Ibu ingin menemui orang malam-malam?"
"Eh?" Ia bingung mendapati jawaban yang sama sekali tidak ia duga, "Lalu kenapa..?" Tidak biasa seseorang keluar malam-malam.
"Ibu tidak bisa tidur jadi Ibu ingin membuat teh lemon" "ah.." "Bagaimana denganmu?"
Mira tersenyum senang sembari berjalan mendekat, "Aku juga kesulitan tidur, bisa buatkan aku teh lemon juga?" Ia memeluk Ibunya manja, begitu lega semua itu hanya karangan otaknya saja.
.
.
Wanita itu memastikan Mira sudah tertidur, barulah ia berjalan pergi menuju ruang bawah tanah. "Minggir, aku ingin melihatnya." Dua penjaga itu tidak berani melawan titahnya. Pintu itu dibukakan.
Cahaya yang masuk dari obor api cukup terang untuk membuka kembali penglihatannya. "..." Moca bahkan tidak menggerakkan matanya untuk mengecek sosok yang ia kenal sebagai Ibu Mira itu. Mata gelap itu menatap kosong udara di ruangan.
Melihat sosok gadis lemah itu hanya diam saja membuatnya kesal. Ia meremas ruji kayu itu. "Bukakan pintunya!" Suaranya yang keras membuat prajurit dibelakangnya hanya menurut.
Ia langsung menerabas masuk dan menarik kerah baju gadis itu. "Kau pikir Eli adalah perisaimu, hah?!!" Teriakan yang begitu putus asa. Tangannya mengoyak baju gemas. Gadis itu sama sekali tidak bereaksi kecuali air mata yang kembali mengalir turun.
"Apa kau bisa menggantikan Eli? Kau bisa?! Kau tidak bisa!!" Air mata wanita itu mengalir, "Kalau kau tidak punya kemampuan kenapa pergi ke medan perang??" Ia mendorong gadis itu lemah.
"Kabur.." gadis itu masih tidak bereaksi dengan perintah wanita di depannya. "Apa pengorbanan Eli begitu tidak berarti buatmu?? KABUR!!"
"Kapten George." Gadis itu bersuara kecil.
"??" Tersadar, wanita itu berbalik, mendapati seorang yang muncul dari balik pintu.
"Baru sebentar, kau juga sudah terpengaruh?" Wanita itu tidak bisa berkata-kata melihat sosok yang marah.
"Ikat gadis itu dan bawa dia ke lapangan untuk disiksa hingga pagi!" Para pengawal itu mengangguk dan segera membawa gadis itu keluar.
"_!" Wanita itu tidak tau harus berbuat apa.
"Kau, kembali ke kamar dan pulihkan akal sehatmu."
.
.
"Seharusnya aku tidak pernah membiarkanmu keluar. Tidak." Ia mengangkat kepala Moca dengan ujung sarung pedangnya, "Seharusnya aku langsung merelakanmu hari itu juga. Harusnya aku tidak bersimpati pada wujud kecilmu." Gadis itu lelah, sakit dan kuyup oleh air yang disiram padanya setiap ia pingsan oleh siksaan tidak henti itu.
"Apa kau percaya Eli menyelamatkanmu dan kau layak hidup?" Gadis itu menatap mata Ayahnya dengan sayu. "Kau!" "Ahk!"Ia menendang tubuh gadis itu "Kau!" "Ak!"tanpa ampun. "yang membunuh Eli."
Gadis itu diliputi kekecewaan yang begitu besar, ia berteriak nyaring dan badannya memberontak. Fisiknya dirusak dan mentalnya dicacah.
"Diam!" Kakinya diayun keras.
"Kapten George!" Pengawal itu berlari masuk ke lokasi, "Pangeran Yo masuk dengan paksa ke kediaman dan tengah menuju kemari!"
"Pangeran Yo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca II : Monice
FantasySeorang gadis yang kehilangan, tidak berharap sebuah akhir yang bahagia, ia ingin akhir yang secepatnya. Tapi seseorang mengikat dirinya tetap tinggal, "Aku tidak akan memaafkan dunia, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku kehilangan ka...