Entitled06

89 14 1
                                    

Ketika sinar matahari merembes masuk dari celah tirai, gadis itu kembali terbangun di kamarnya. Pertama ia rasa adalah hatinya terasa sakit. 

Ia duduk, merasa sepi. Semua itu bukan mimpi, ia tidak lagi bisa menyangkalnya. Kenangan dan kerinduan itu membuat air matanya kembali berjatuhan. Semua ingatan bertahun-tahun itu semua terkilas sekejap mata. 

"Aku sayang Moca." 

"Aku sayang Eli.." Suaranya bercampur dengan isak. Ia tidak ingin kehilangan memori yang indah dan menyakitkan itu.

.

.

.

"Pangeran Ji!" ucap Mira berbunga-bunga sambil masuk ke dalam ruang kerja Ji. "Lady Mira.." Sekretarisnya lagi-lagi harus tersenyum kecut. "Pangeran Ji sedang berada di Istana Prajurit.." Tidak enak menyampaikannya, tapi sudah kewajiban. 

 "Em, sebenarnya beliau juga tidak melakukan pekerjaan disana.." 

"Uh.. kalau begitu aku titipkan ini padamu saja.." Mira menitipkan kotak makan siang yang ia buat kepada Syd. "Yang penting dia tidak terus-terusan bekerja." Syd agak tertegun mendengarnya.

"Hehe, kalau begitu aku pergi dahulu, terima kasih." Syd mengangguk. 

Syd masih kurang mengerti tingkah Mira. Maksudnya, Syd bisa paham kalau Mira menyukai Ji dan tidak suka kalau Ji justru memperhatikan perempuan lain. Tapi sejak kejadian terakhir itu, ia sama sekali tidak bersuara. Syd berpikir mungkin gadis itu merasa bertanggung jawab membuat gadis tidak bersalah menjadi seperti itu. 

Syd masih tidak tau identitas gadis itu. Ia hanya tau gadis itu dulunya dekat dengan Eli dan pernah menyamar menjadi prajurit pria. 

Syd meletakkan kotak makan itu di atas meja depan sofa. 

Keluar dari ruangan Ji, Mira kembali menggigit bibirnya. "Mereka tidak boleh bersama, tidak boleh bersama." Ia merasa harus menjadi heroine yang melindungi Pangeran Ji. 

Ia harus merebut hati Ji agar hanya dekat padanya atau menyingkirkan Moca agar kesialan itu tidak tersebar. Mira tau ia tengah melakukan hal yang benar. 

Ruang tengah istana prajurit diisi oleh Sarah, Monice, dan Ji yang baru saja menyelesaikan duelnya dengan Andrass. Mata Monice sembab tapi yang paling ia rasakan adalah malu. Ia merasa pakaian wanita itu akan membuatnya aneh. Sementara dari tadi Ji memandanginya. 

"Kenapa? Kau tidak ingin di adopsi oleh Sarah?" 

Monice menggeleng. Ia tengah dilanda dilema. "Monice, identitasmu sudah ketahuan.. cepat atau lambat kalau berita ini terdengar kepada Raja, kau akan diusir dari Istana Prajurit." 

"Moca, kau bisa percaya padaku.." Sarah memegang tangannya, tetapi Monice tetap menolak. "Moca jangan bilang.. kau ingin keluar dari istana?" 

Benar, meski belum pasti, ia sudah memikirkannya. "Sarah.. aku sudah melanggar perjanjian seorang prajurit.. aku juga tidak seberapa kuat.." 

"Aku ingin keluar dari istana." 

"Kau mau kemana? Semua temanmu di sini, aku di sini." Sarah memegang pundak Monice. "Kau tidak punya tempat di luar sana." 

Monice tidak menatap mata Sarah, "Aku tidak suka dingin jadi aku ingin pergi ke selatan.." Sarah agak kesal mendengarnya. "Tidak bisa, Moca, kau tetap di sini." 

Bagi Sarah, Monice yang selalu membuntuti Eli itu tidak bisa pergi ke mana-mana. Monice bukan anak yang mandiri, dari dulu Eli selalu memanjakannya. Setidaknya, sekarang ini ia tidak mau melepas Moca. 

"Jangan terlalu memikirkannya, kau masih belum sehat.." Perasaan Ji sendiri bercampur aduk, ia kira ia setidaknya bisa memberikan gadis itu hidup yang nyaman di istana dengan menjadikannya anak adopsi dari Sarah. Tapi yang keluar dari mulut gadis itu justru sebaliknya, ia tidak menyangka gadis itu ingin keluar dari istana. 

"Istirahat, jangan berpikir untuk lari atau berlatih sama sekali." Ji hanya bisa mengatakannya. "Sarah, aku akan kembali.. beritahu aku jika ada berita khusus." Tidak banyak yang bisa ia lakukan. Ia memilih kembali ke ruang kerjanya. 

Melihat Ji sudah jauh dari tempat itu, Monice baru bertanya pada Sarah. "Sarah, bagaimana dengan Eklis? Aku tidak melihatnya." 

Sarah tersenyum pahit mendapat pertanyaan itu. Ia merasa tidak enak harus menjelaskannya. "Eklis mengundurkan diri.." 

Mata Monice melebar, "Kenapa?" 

"... Semua orang bertanya-tanya apa yang mengakibatkan kematian Eli. Tidak banyak yang tahu kejadiannya selain Kau dan Eklis. Agar berita ini tidak melibatkan dirimu, Eklis menyatakan dirinya sebagai orang yang diselamatkan oleh Eli." Pernyataan itu membuat wajah Monice memerah, kesal. 

"Kau tidak perlu khawatir, ia masih berhubungan erat dengan prajurit yang lain, ia menetap di kapital." 

"Tapi mereka tahu.. mereka tahu itu pasti aku.." Ia merujuk pada teman-temannya yang lain, sesama prajurit. "Kenapa mereka melakukannya??" Matanya berkaca-kaca.

"Mereka melakukannya untukmu, Moca." Sarah menghapus air matanya yang mengalir.

Tangan Monice mengepal erat. Tubuhnya gemetaran dari semua emosi yang ia tahan.

"Moca, kau harus lihat sisi positif_" Monice berdiri, mengambil napas dan tersenyum tipis kepada Sarah.

"Aku.. mau ke kamar." Emosi yang mencekik membuat hanya kata pertama dan terakhir terdengar.

Sarah hanya melihat gadis itu berjalan menaiki tangga. Ia mencoba untuk tidak terburu-buru dan bersabar.

.

.

.

Melihat Andrass membuka pintu kamarnya, ia terkekeh kecil. Tawa itu membuat Andrass jadi lebih lega dan berjalan masuk.

"Hey.. u good?" Suara Andrass hanya dibalas "hm" oleh Monice.

"Tidak baik kalau terus sendirian.. Sarah menyuruhmu untuk makan malam di bawah."

Monice mendongak menatap Andrass. "Ok." Ia menurunkan kakinya dan berdiri.

Mereka berjalan keluar. "Omong-omong, bekas lebammu sudah tak terlihat. Pangeran Ji pasti memberikan obat yang sangat pahit."

"Euh." Monice mengerutkan muka mengingatnya. "Hahah, aku juga pernah minum jadi tahu rasanya.."

"Eh?" Pernah minum berarti pernah terluka parah.

"Waktu tanganku patah.. Tidak hanya aku beberapa teman yang lain juga pernah. Setuju kalau rasanya membuatmu tak ingin terluka lagi.."

"Rasanya seperti pahit, hangus, sepet, berpasir_"

"Andrass, stop!" Monice merengut, super duper kesal.

"Ahahah, oke oke, kita makan saja..," ucap Andrass sembari melingkarkan tangannya ke bahu Monice.

"Tsk," Monice menutup mulutnya dengan baju lengan, berusaha melupakan rasa ramuan itu.

Ia sampai ke ruang makan. Mengambil piring sebelum sebuah suara mencuri perhatiannya.

"Ohoy! Cute young lady!" Monice segera menoleh kearah pintu, ia pikir mereka tengah menggoda pelayan wanita seperti biasanya.

Ia berpikir sejenak melihat tatapan para pemuda ke arahnya. Menyadari ia tengah memakai pakaian perempuan. "Um.." wajahnya memerah.

"Moca, makan banyak daging.." Andrass seolah tidak peduli dengan perkataan orang, ia menaruh gundukan daging di piring Monice.

"Ah, en." Ia mengangguk. Ia melihat sebentar ke arah pemuda yang terlihat menertawainya kemudian berpaling mengabaikan.

Ia kembali duduk semeja dengan teman-temannya yang lain. Mereka terus menyibukkan Monice dengan berbagai pertanyaan.

Eli yang biasanya duduk di hadapannya tidak terlihat, ia jadi tidak berselera.

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang