Entitled57

39 6 1
                                    

Ruiz mengetuk dan membuka pintu kamar Ai pelan. Ia berjalan mendekat duduk di pinggir ranjang Ai. Tangannya menyentuh dahi Ai mengecek suhunya. 

Gadis itu tengah memeluk gadis berambut magenta yang ia ketahui sebagai kekasih Ji. Sungguh pemandangan yang menarik untuk dilihat. "Ai." 

Mendengar suara itu Ai langsung bangun duduk. Ia menoleh melihat Ruiz yang sudah ada di depannya. Ruiz terkekeh, ini pertama kalinya melihat Ai begitu terharu dengan kehadirannya. Ia mengusap rambut Ai, rambut yang berantakan habis tertidur. "Ruiz.." Linangan air mata itu langsung terbentuk dan tumpah turun. 

Ruiz tersenyum tipis melihat Ai.. Ai menangis untuk pertama kalinya. Ia memeluk gadis itu menepuk-nepuk punggungnya. "Aku disini.. apa yang kau tangisi.." Ai menangis keras, ia meremat kain baju di punggung Ji. 

Monice terbangun. Ah, sungguh ia tidak seharusnya melihat pemandangan ini. Dengan langkah santai, Monice keluar dari kasur dan berjalan keluar sambil mengucek matanya. 

Ruiz sudah kembali. Kini sudah bukan tugasnya untuk mengawasi Ai. 

Monice menguap berjalan di istana dengan kaki telanjang. Di lorong ia melihat ke jendela kaca yang luas. Langit terlihat biru cerah dengan daratan yang dipenuhi salju. Ia berjongkok melihat pemandangan itu. Dingin. Tapi ia tidak mungkin kembali ke ruangan itu untuk sekedar mengambil mantel. 

Istana begitu sepi, mungkin mereka mulai enggan dengannya --berjalan di lorong yang sama dengan Monice setelah mengetahui ia adalah anak kandung dari seorang mantan duke. Marquess menolak menjadi penerus duke sehingga Monice adalah salah satu kandidat penting yang mungkin menjadi Duchess selanjutnya. Berita itu tersebar dengan cepat. 

Ia memeluk kakinya. Asap putih keluar ketika ia menghembuskan napas. Langkah kaki terdengar, membuat Monice menoleh. Melihat orang yang sudah ia tunggu-tunggu, ia langsung berdiri. 

"Pangeran Ji!" 

Ji terdorong kaget ketika gadis itu berlari dan memeluknya erat. Ji mengelus punggungnya pelang kemudian mendorongnya. "Kenapa kau hanya memakai piyama?" Ji melepas jaket wolnya dan memakaikannya pada Monice. 

Ji kembali menggendong Monice, "Jangan berjalan dengan kaki telanjang." Ah, itu mengingatkan Ji pada hari dimana ia bertarung dengan Ruiz. 

"Monice.. apa hubunganmu dengan Rey?" Ia merasa kesal, hatinya tidak terima Monice berada di pelukan orang lain. 

Teringat nama Rey membuat Monice terdiam. Ia masih susah mengaplikasikan fakta bahwa Rey sudah tiada. Baru musim panas kemarin ia dan Rey mengobrol seharian. "Rey.." 

Ji mengeratkan pelukannya pada Monice ketika mendengar gadis itu hanya diam kemudian menyebutkan namanya pelan. "Siapa.. Rey?" Ji mengulang pertanyaannya. 

Ah.. mulai dari mana ia harus menjelaskannya. Monice melingkarkan tangannya pada leher Ji. "Seorang prajurit.. anak Sarah, saudara sepupu Pangeran Ji." 

Mata Ji membulat sebentar sebelum kembali melunak. "Apa yang kau lakukan dengannya malam itu?" Ji menolehkan kepalanya ke arah Monice ketika gadis itu mengeratkan pelukannya. 

"Hiks.. kukira dia benar-benar membunuhmu.. Pangeran Ji, kukira aku tidak bisa melihat Anda lagi.. Aku hampir membunuhnya dengan tanganku sendiri, huwaa" Monice berusaha mengeratkan pelukannya pada Ji.

Alis Ji terangkat mendengarnya, begitu? Ia tersenyum senang, mengelus punggung Monice menenangkannya. "Aku disini." 

Ruiz masih berada di kamar Ai. Moodnya baik, ia memeriksa jemari Ai, tapi masih cincin tunangan yang terpasang, moodnya turun. "Ai.. kau masih menginginkan posisi ratu Emeria?" Ia bertanya khawatir, apa gadis itu tidak mencintainya seperti yang dia kira?

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang