Thea kembali dikejutkan oleh nonanya yang kembali dengan kondisi tidak menyenangkan. Lonceng itu berbunyi saat seseorang masuk ke restauran, menunjukkan sosok Monice yang pucat.
"Nona!" Thea langsung mendekat, mencoba menahan tubuh Monice yang hendak terjatuh itu. "Travis! Bantu aku! Angkat Nona Monice ke lantai tiga." Thea memanggil teman kerjanya untuk bantuan.
Pramusaji pria itu mengangkat Monice dan membawanya ke lantai tiga. "Dari sini, biar aku yang membawanya, kau bisa kembali ke bawah." Thea merangkulkan tangan Monice ke atas lehernya. Kemudian membuka pintu kamar dan membaringkan Monice.
"Nona, apa ada masalah dengan Putri Sarah?" Ia bertanya sambil menaikkan selimut ke tubuh Monice. "Thea.. masih belum ada kabar kepulangan Pangeran Ji?"
Thea menggeleng. Ini memang sudah lebih dari batas waktu yang diperkirakan bagi pangeran dan menterinya untuk kembali. "Aku akan mencari kabarnya lagi."
Monice mengangguk. Ia menutup matanya, berusaha untuk tidak berpikir lebih jauh lagi.
Sementara Ji dan Andrass di kapal saling mengobrol dengan teh di meja. "Euh, teh ini lebih pahit dari biasanya.." protes Andrass. Ji setuju, "Mungkin jenisnya berbeda."
Ji jadi teringat teh pemberian Monice, "Teh krisan?"
"Habis, tidak bersisa sampai ke remahnya." Andrass juga ingin meminum teh itu.
Mereka hanya bersabar, menahan kerinduan mereka akan suasana Emeria.
Mereka pulang setelah menyelesaikan misi mereka. Sama sekali tidak waspada. Kode-kode dari Ai sudah diterima orang-orang kapal.
Mereka bersantai sambil menunggu kapal berlabuh.
Melihat sosok Ai yang menunggu di pelabuhan mengejutkan Ji dan Andrass.
"Kak Ai_" Pandangan Ji kabur ketika ia tengah turun dari tangga kapal. Ia mencoba menyeimbangkan tubuhnya. "Ada apa?" Andrass memeriksa.
"Tidak, aku hanya mabuk laut." Ji menghilangkan rasa khawatirnya dan kembali turun ke bawah. Dua sudut bibirnya ia angkat lebar melihat kakak perempuannya itu.
"Kak Ai, kau disini karena aku atau menunggu orang lain?" Ji memeriksa intensi Ai sambil bercanda.
Ai tersenyum lebar, tidak melepaskan gaya psikopatnya "Aku menunggumu Ji."
Ji membalas senyuman itu juga dengan lebar, ia senang, "Ku kira_"
Jleb!
Anak panah yang diluncurkan dari tangan Rey itu mengenai perut Ji. Para pasukan dibawah pimpinan Ai itu mengitari Ji dan mengacungkan pedang mereka ke arah Ji.
Merasakan sakit luar biasa itu Ji terduduk di salah satu lututnya. "Kak_" Darah keluar dari mulutnya. "_Ai"
Pandangannya kabur. Teh pahit yang ia minum selama di kapal adalah racun.
"Pfft, hahah, Rey!"
Rey yang sudah berdiri di belakang Ji itu mengangkat pedangnya. Ia menghujamkan pedang itu kebawah.
Pangeran "JI!" Monice terbangun dari tidurnya.
Ia duduk dan melihat ke sekitar. Ia berada di kamarnya. Sinar matahari itu menerabas masuk dari jendela kaca kamarnya yang tertutup gorden merah.
"Thea! THEA!" Ia berteriak memanggil pelayannya itu.
"Ya?" Thea segera masuk agak panik dengan panggilan itu, "Nona? Nona tidak apa-apa?" Ia mendekat melihat Monice memegangi perutnya. "Apa yang terjadi?" Monice bertanya dengan suara lirih.
Ia ingin cepat-cepat mengkonfirmasi bahwa yang barusan ia lihat itu hanyalah mimpi buruk.
"Nona.. saya akan membawakan obat Anda." Thea yang tanggap dengan kondisi kesehatan tuannya segera berbalik. Ia tidak tanggap tangan Monice berusaha menahannya untuk tinggal dan malam melepaskannya.
"Pasthea!" Ia mengeraskan suaranya membuat Thea berbalik. Kali ini ia mengerti, ia harus tinggal. "Uph_ek"
Thea menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika melihat tangan Monice yang bernoda darah.
Napas Monice terlihat begitu sesak dan terburu-buru. "Dimana Pangeran Ji?" Ia menatap Thea dengan mata yang lelah itu. "Pangeran Ji.." Melihat Thea yang menggerakkan matanya kekiri dan kekanan membuat Monice geram.
"Dimana?" Ia bersuara lirih tapi penuh frustasi. "Thea.."
"Kabarnya Pangeran Ji masih belum akan kembali bulan ini.."
Monice mengeluarkan napas lega mendengar kalimat Thea. Ia mengelap darah yang mengalir dari sudut bibirnya dengan punggung tangan.
Thea yang melihat nonanya sudah tenang, bergegas keluar dan menyediakan obatnya.
Monice mengatur napasnya. Mimpi itu masih berbekas di kepalanya. "Liel.." Ia mengerang pelan. Memeluk kakinya, ia berusaha menghilangkan pikiran buruk yang membuat kepalanya serasa hampir pecah.
Rasanya sakit, perih, tapi juga panik dan membingungkan. Ia menutup kedua telinganya. Berisik.
.
.
.
Mira berada di ruang tamu istana putri. Ai, pelayan Ai, dan Mira berada di ruangan itu. "Mira, mulai sekarang kau bisa mengurangi sedikit kegiatanmu di lingkar sosial."
Mira mengangkat alisnya polos, ia yang biasanya bertemu langsung dengan Ratu kini berhadapan dengan Tuan Putri Ai. "Ratu masih sibuk mengurus pekerjaan istana karena Pangeran Ji belum pulang jadi aku yang akan mulai bertemu denganmu."
Mira mengangguk-angguk. "Begitu.."
"Iya, Mira, kau bisa memanggilku Ai. Aku sudah menganggapmu teman sejak lama."
Senyum Mira langsung melebar mendengarnya, "Kalau begitu mohon bantuannya, Kak Ai!"
"En." Ai mengangguk sementara dalam hati ia berdecak. Kecantikan tidak menunjukkan kualitas seseorang, pemikiran Mira begitu polos dan mudah dibodohi. Ia pasti hanya menghapal materi pelajaran untuk mendapatkan nilai bagus.
"Mira kau sudah mendapatkan banyak perhatian oleh masyarakat, sekarang saatnya kau berkiprah juga di dunia politik." Pelayan Ai membawakan beberapa buku dan meletakkannya ke meja.
Mira menatap buku-buku didepannya, berharap buku itu bukan untuk diserahkan padanya.
"Pelajari buku ini, aku yakin seminggu adalah waktu yang cukup."
"Kak Ai, aku tidak bisa politik.." Mira mencoba menolak dengan halus.
"Hm?" Tentu saja Ai tahu. "Ini untuk menyiapkanmu menjadi Ratu. Bukankah kau ingin menikah dengan Pangeran Ji? Aku merasa kamu adalah kandidat terbaik."
Mira berkedip, ekspresinya langsung berbunga mendengarnya. "Saya akan melakukan yang terbaik!" Mira mengepalkan kedua tangannya di depan dada.
"Benar, setidaknya seorang ratu harus tau mana yang menjadi musuh atau teman," ucap Ai sambil menyembunyikan seringainya. Ai tahu, dalam kondisi Mira adalah sia-sia kecuali ia terlahir kembali.
Rey yang berdiri di pintu ruangan mendengar semuanya. Ia menutup matanya dan menghembuskan napas panjang. Sejak menjadi pengawal dari Ai dan merasakan tekad Ai mengambil alih posisi mahkota dari Ji, ia merasa waktu hidupnya semakin memendek.
Rey merasa, bagi Ai, orang-orang disekitarnya hanyalah sebuah alat yang perlu ia manfaatkan untuk membuka jalurnya melawan Pangeran Ji.
Termasuk dirinya. Entah karena alasan apa ia tersangkut, yang pasti ia sudah terjebak oleh sumpah yang tidak bisa ia ingkari.
_________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca II : Monice
FantasySeorang gadis yang kehilangan, tidak berharap sebuah akhir yang bahagia, ia ingin akhir yang secepatnya. Tapi seseorang mengikat dirinya tetap tinggal, "Aku tidak akan memaafkan dunia, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku kehilangan ka...