Pintu di dobrak. Lemari itu menutupi pemandangan kamar, tapi genangan darah itu terlihat dari sela-sela.
Napas Ji tercekat, tapi untuk memastikan ia tetap berjalan masuk menaiki lemari itu. "Monice!" Ia sungguh bersyukur darah itu bukan miliknya, tapi kondisi gadis itu membuat sekujur bulu kuduknya berdiri.
Ia memeluk gadis itu. Merasakan suhu tubuh yang menyengat. Ia mengangkat gadis itu dan membawanya keluar.
.
.
Pada ranjang kamar tidur yang luas, terbaring seorang gadis. Dari sudut yang berbeda terlihat sosok pria yang bersandar pada punggung sofa sembari menutup mata dengan lengannya.
Tok-tok. Suara pintu diketuk itu membuatnya memfokuskan diri k
"Pangeran Yo, Tuan Gubernur Teris mengunjungi Anda." Pintu dibuka, memperlihatkan sosok pria 40 tahunan dengan ajudannya. Ji berdiri untuk menyambut.
"Berkat dan kelimpahan bagi Kerajaan Emeria." Tuan Teris menghanturkan salamnya.
"Terima kasih, atas bantuan Anda, Tuan Teris.."
"Hmm, terakhir aku melihatmu di pemakaman Eli.. Anak buahku sudah memberitahu kalau kau berkeliaran di Kota Edam." Tuan Teris kemudian mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang terbaring di ranjang.
"Kau sampai meminta bantuanku untuk kasus gadis itu." Tuan Teris tersenyum, "Hahah, dasar anak muda.."
Ji mempersilahkan Tuan Teris untuk duduk di kamarnya.
Teris duduk, mengedipkan matanya sebentar kemudian menghela napas, "Hah.. karakteristik gadis itu membuatku ingin bertemu George.. Jadi, siapa sebenarnya gadis itu?"
Ji memposisikan dirinya untuk duduk juga, "Saya berencana membawa gadis itu kembali ke ibukota."
Tuan Teris berdeham menyadari Ji ingin merahasiakan identitas gadis itu darinya.
"Siapa namanya?"
"Monice."
"Hm, baiklah, aku tidak akan bertanya lebih lanjut." Tuan Teris kembali berdiri. "Kita sudah lama tidak berbincang tapi aku tidak akan berlama-lama.." Matanya menatap ke arah Ji, yang pernah menjadi juniornya, "Yah.. aku juga tidak tahu kenapa George menyewa pembunuh bayaran untuk gadis itu.." Ucapnya menatap mata Ji mencoba menemukan informasi. Tapi Ji tetap tidak terlihat akan mengatakan sesuatu, ia beranjak berdiri.
"Semoga Anda nyaman dengan pelayanan kami, Pangeran Yo.." Ji membalasnya dengan anggukan.
Setelah tinggal gadis itu dan dirinya di dalam ruangan, Ji baru melampiaskan amarahnya dengan memukul meja kayu dengan tangannya. Dari awal suasana hatinya sedang tidak baik.
Gadis itu terbangun akibat suara pukulan Ji. "Pangeran Yo?" tanya Monice pelan.
Matanya memeriksa ruangan itu, dan bertanya-tanya. Ia dimana? Mengapa Pangeran Yo ada di depan matanya? Dan mengapa ia terlihat marah?
"Ah, maaf." Ji menatap Monice sebentar, merasa harus menenangkan dirinya dan berjalan keluar dari ruangan.
Monice mengambil handuk yang berada di dahinya. Ia duduk, melihat dua pedang yang terpajang di samping ruangan. Pedang Ji dan pedangnya.
Jadi, selama ini Ji tidak kembali ke ibukota?
.
.
.
Malamnya Monice duduk berhadapan dengan Ji setelah makan malam. Melihat mood suram Ji, Monice menghidari tatapan Ji. Ia hanya bersiap mendengar.
"Monice, aku rasa kau harus tau." Ji menghela napas. "Tapi mungkin ini kejadian yang tidak ingin kau ingat, tidak apa?"
Monice mengangguk.
"Kelompok yang menyerangmu sehabis perjanjian di Barat.. Bukan pemberontak."
Monice mengernyit. "Mereka hanya mengincarmu sama seperti orang kemarin malam. Tapi gagal karena Eli melindungimu.."
"Dalang dibalik para pembunuh yang mengincarmu itu.. ayah kandungmu, Tuan George.."
Monice menelan ludah mendengarnya. Kini terbukti sampai tingkat apa, kebencian ayahnya padanya. Mungkin kematianpun tidak bisa menebus rasa kebencian itu. Kedua tangan Monice meremas roknya.
"Sekarang, biar aku bertanya padamu. Kau masih ingin mengalah?" Ji bertanya dengan pelan, ia tidak ingin menakuti gadis didepannya. "Aku saja begitu marah dengan fakta mereka masih mengincarmu bahkan setelah kau pergi meninggalkan ibukota."
"Mengetahui Eli meninggal hanya karena masalah yang dibesar-besarkan.."
"Tapi aku lebih kesal tidak bisa melakukan apa-apa. Kapten George dipercayai lebih dari 30.000 tentara. Beliau sudah mendapatkan banyak dukungan dan koneksi para bangsawan. Mengungkap keburukannya berkemungkinan menimbulkan pemberontakan." Ji mengepalkan tangannya erat di atas meja.
"Aku tidak mau meninggalkanmu di sini dengan konsekuensi kehilanganmu sepenuhnya."
Tapi kali ini Monice tidak mengerti dengan pemikiran Ji, maupun pemikiran lama Eli. Ia menunduk menatap tangannya.
Kalau saja.. kalau saja.. dari awal keberadaannya tidak pernah ditemukan Eli. Kalau saja, ia sudah mati..
Eli masih hidup berdampingan dengan keluarganya. Ji tidak perlu kehilangan teman dekatnya. Tidak ada masalah yang bisa menimbulkan pemberontakan.
Seharusnya ia tidak pernah dilahirkan saja!
Jadi ia tidak perlu merasa begitu berdosa.
Ji melihat Monice yang menunduk dan menangis. "Menurutmu keadaan akan lebih baik kalau kau tidak ada?" Ji berjalan mendekati Monice, kemudian menekuk lututnya ke lantai untuk menatap Monice.
Monice mengangguk, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan kalau dirinya sendiri adalah sumber masalah. Bukannya wajar kalau saat ini ia berpikir lebih baik mati?
"Kau ternyata.. tidak tau apa-apa tentang Eli, ya.." ucap Ji lembut sembari mengangkat sedikit dagu Monice untuk menatapnya air mata terus mengalir membasahi pipinya.
"Kalau kau tidak ada, Eli mungkin tidak bisa bertahan perang. Saat itu usia kami masih muda, kami menyaksikan teman-teman kami yang terbunuh. Ia berkata tidak akan mati sebelum melihat wajah adiknya.. Konyol, tapi itu nyata."
Terharu mendengar pernyataan Ji yang membuatnya menginginkan Eli kembali. Tangisnya pecah.
"Kalau kau tidak ada, Mira tidak bisa menggantikan siapa-siapa.." Ia menatap Monice lembut.
"Lalu kalau aku tidak bertemu Eli, aku lebih memilih mengundurkan diri dan mengembalikan status putra mahkota kepada Kak Ai."
Jemari Ji menghapus air mata Monice.
"Karenamu, banyak hal baik sudah terjadi.." Ia menggenggam tangan Monice.
Monice balas memegang tangan Ji. Terbata-bata ia bertanya, "Monice.. Monice.. harus.. bagaimana?"
.
.
.
______________
KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca II : Monice
FantasySeorang gadis yang kehilangan, tidak berharap sebuah akhir yang bahagia, ia ingin akhir yang secepatnya. Tapi seseorang mengikat dirinya tetap tinggal, "Aku tidak akan memaafkan dunia, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau aku kehilangan ka...