Entitled35

58 10 6
                                    

Mira kembali terbangun, melihat cahaya yang datang dari pintu kayu. Ia melihat ke sekitar, mendapati Monice. Mira bersyukur, ada asap putih keluar jelas ketika Monice menghembuskan napas.

"Kapan orang-orang itu akan kembali? Bukankah seharusnya mereka memberiku makan?" Mira teringat kemarin orang-orang itu masih memberinya makan. 

Tidak sabar, ia melepaskan ikatan di tangannya yang sudah kendor. Ia menepuk-nepukkan tangan dan roknya yang terkena debu kemudian berjalan memeriksa barel-barel anggur itu. "Oh!" Ia mengambil sebuah ember kosong lalu mengisinya dengan anggur, memilih tanda tahun yang bagus. 

Mengangkat ember wine itu mendekat pada kursinya dan kursi Monice. Tangan Mira mengudari ikatan tali Monice, dan menyingkirkan talinya. "Monice, bangun." Ia menggoyangkan tubuh Monice yang sedingin es itu. 

"Sakit, Mira.." Ia membuka matanya yang terasa perih dan berat itu. Apa ia tahu rasanya dicabik-cabik? Seperti itu rasa badannya sekarang.

Dengan tangan, Mira mengambil anggur dari ember dan menyuapinya ke Monice. "Anggur bisa membantumu merasa hangat." Monice meminumnya dan memegang tangan Mira. 

Mira menatap ke arah pintu, "Menurutku orang-orang itu tidak akan kembali. Kita harus keluar dari sini sebelum hari mulai malam." 

Monice setuju. Mira membantu Monice untuk berdiri, tapi Monice merasa begitu lemas membuat Mira kesusahan membawanya. Rasa dingin itu menusuk sampai ke tulang. "Tidak bisa begini.." Mira mengembalikan Monice untuk duduk. 

"Ayolah kau seorang prajurit, apa segini saja dingin sampai membuatmu tidak bisa bergerak??" 

Tawa kecil monice tidak bersuara, "Kalau begitu kau keluar sendiri.." 

"Kau pikir aku tidak punya hati? Menyuruhku meninggalkanmu?" Mira kembali jongkok di lantai dan meminum anggur itu. Ia menatap Monice, "Aku keluar sendiri pun, aku tidak tau arah jalan.." 

Monice rasanya ingin berdecak tapi bibirnya kaku jadi hanya tertarik sedikit, "Kau ini benar-benar.." Ia tidak percaya posisinya di keluarga itu digantikan oleh seseorang seperti Mira. 

.

.

.

Kuda Ji sampai ke istana siang itu. Ji berlari dan membuka pintu kamar Ai. Menatap Ai yang tengah membaca buku di meja dan berjalan masuk. "Tidak ada yang tidak kau tau di Kerajaan ini." 

"Monice di mana?" 

Ai yang merasa momen membacanya terganggu, melihat ke arah Ji, kemudian mendengus merendahkan. "Kau seputus asa itu? Banyak pasukan tengah dikerahkan untuk mencarinya, kau hanya perlu menunggu." Ai kembali menaruh perhatiannya pada halaman yang tadi ia putus. 

"Kak Ai.." Ji putus asa, hanya kakaknya yang bisa ia percaya kali ini, "Monice tidak tahan dengan cuaca dingin. Ia tidak bisa menunggu orang-orang itu menemukannya." Ji memohon di depan meja kakaknya. 

Ai menatap Ji. "Kau sepertinya tau benar tentang Monice, tapi tidak tau kakakmu sendiri." Ai menutup bukunya. "Aku paling tidak suka diganggu saat membaca." Ia kemudian menghela napas dan balas menatap adiknya heran. 

Ji menatap meja Ai. Ia sendiri sangat jarang mengunjungi kamar kakaknya karena ia tahu kakaknya paling tidak suka diganggu kecuali Ai sendiri yang tengah bersantai di luar. Deretan pion catur yang ada di meja itu mencuri perhatiannya. Matanya menatap deretan pion catur yang ada di meja itu. 

Merah-Mira. Biru-Ji. Perak-Eli. Raja dan Ratu. Matanya mengitari ruangan itu, mencari sisa pion yang mungkin ada. 

Ada. Pion yang menyimbolkan Monice tergeletak miring di lantai. Ia berjalan mendekat dan berjongkok mengambil pion magenta yang ada di lantai. Hal yang dilakukan Ji barusan itu membuat Ai langsung berdiri marah,"Kau benar-benar!" Ai hendak mengambil kembali pion itu tetapi Ji sudah telanjur beridir dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang