Entitled25

64 10 8
                                    

Pasthea, pelayan pribadi Monice, batinnya dikejutkan oleh wajah sembab tuan putrinya. Pagi itu ia sudah bekerja di meja yang bisa dibilang meja ruang tunggunya, mengurus surat-surat. Thea dan Monice itu seumuran. Thea datang dari desa untuk bekerja, mendengar nama Kannelite yang masih belum memiliki pelayan, ia mengajukan diri. 

Ia terpaku diam saat Monice keluar dari ruangannya. Ia tahu tuannya itu pasti habis keluar dari ruang rahasia yang entah apa isinya. Itu sudah biasa, hanya saja hari ini terlihat lebih parah. 

Thea hanya bisa menghela napas melihat Monice yang tersenyum padanya dan masuk ke ruang kerja. Bekerja pada Monice adalah keputusan terbaik yang ia buat. Tapi.. "hah..." terlalu ekstrem. Bagaimana bisa--
Ia menggeleng, berusaha berhenti memikirkannya. 

Ia keluar dari mejanya dan turun ke bawah, menyiapkan sarapan majikannya. 

Sementara pagi menjelang siang, ruang kerja Ji kedatangan Mira. Gadis berusia 17 tahun yang sudah mengalami masa pubertas itu. Tingginya mencapai 5'8 atau 172 cm, rambut gelombang merah panjang, matanya bening dengan iris berwarna emas, ia dikenal sebagai sebutan "Dewi segala berlian". Maksudnya karena tidak ada permata di dunia yang bisa mengalahkan kecantikannya. Menatap matanya akan terjebak dalam lumpur madu, melihat bibir merahnya yang tersenyum semua orang akan jatuh hati. Tubuh berkaki jenjang dengan lingkar pinggang yang kecil. 

Laki dan perempuan sama-sama dibuat jatuh hati. 

Ji yang sudah tidak lama tidak bertemu dengannya juga begitu. Matanya terpaku melihat Mira berjalan masuk ke ruangannya. Tatapan Ji membuat Mira terkekeh malu-malu. "Lama tidak bertemu, Pangeran Ji." 

Ji berkedip, ia memproses ucapan Mira, "A-ah, iya," Ji tersenyum tipis, "Anda tambah cantik, Lady Mira." Ji mengatakannya dengan ringan, 

Mendengarnya langsung dari seseorang yang ia sukai sejak lama membuat wajah Mira langsung memerah malu. "Pa_pangeran Ji, apa Anda ingin makan siang bersama saya?" Mira bertanya agak canggung. 

"Apa ada yang ingin disampaikan?" Ji meletakkan penanya, menatap Mira, "Aku tidak keberatan kau mengatakannya saja disini." Ji berdiri dan mempersilahkan Mira untuk duduk di sofanya, ia juga ikut duduk di sofa tengah. 

Ji memanggil Andrass untuk membawakan teh untuk mereka berbincang. "Kudengar kaki Anda terluka, apa Anda tidak apa-apa?" Mira melihat kaki Ji yang terlihat biasa dengan celana formal bahan. Ji mengangguk, "Tidak ada yang parah."

Mereka saling bertanya kabar, kemudian pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari. Ji menghabiskan dua cangkir teh, yang berarti obrolan sudah berlangsung kurang lebih satu setengah jam. Bahkan sampai akhir perbincangan pun Mira terlihat senang, itu karena Ji ikut tertawa bersamanya. 

Mira berpamitan, berjalan keluar, dan pintu ditutup. Ji mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Ia melihat ke meja kerja milik Monice, kemudian menghela napas lagi. Ia kembali ke meja kerjanya, melanjutkan pekerjaan. 

Monice tidak datang, padahal sehabis ini ia harus pergi ke Kerajaan seberang. Setidaknya memakan waktu dua bulan untuk tiga kerajaan berbeda disebrang samudra. Meskipun begitu ia tidak boleh mengeluh, kan? Harga yang harus dibayar sebagai putra mahkota. 

"Nona? Anda ada masalah dengan Pangeran?" Thea tidak kuasa bertanya setelah melihat Monice yang hanya terus mengotak-atik buku dan kertas, bahkan tidak beranjak dari kursinya sedari pagi. "Nona?" 

"Malam ini Pangeran Ji akan pergi ke sebrang lautan. Apa Nona tidak pergi?" 

"Iya." Monice mendongak, melihat ke arah Thea yang memiringkan kepala bertanya apa maksudnya. "Aku tidak pergi. Kalau kau mau pergi, silakan." Ia kembali menunduk hendak membaca, tapi pikiran itu terlintas dikepalanya, "Ah, jangan lupa berikan salep yang ada di laci nakas. Hm, juga teh krisan."

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang