Entitled03

109 20 3
                                    

"Pangeran." suara Pascal --pemimpin prajurit itu memecah keheningan di ruang tengah istana prajurit. Beberapa pemuda termasuk Andrass, Roy, dan Rey bersama dengan Sarah dan Pascal memikirkan cara untuk melepaskan Moca dari tangan Tuan George. "Kita bisa meminta pertolongan Pangeran Yo untuk menyelamatkan Mo." Pernyataan yang dilontarkan Pascal membuat Sarah langsung berdiri. 

Tidak usah dipikir dua kali pada hal yang sudah pasti. Sarah segera berjalan mengambil lentera dan berjalan cepat keluar yang disusul oleh Andrass. Mereka menuju istana perak, kediaman Ji. 

Matahari belum terbit, taburan bintang terlihat lebih terang tanpa cahaya bulan. 

.

.

"Pu_Putri Sarah.. dan Jenderal Andrass? Pagi buta begini.." Kepala pelayan itu kebingungan kedatangan dua orang itu. "Ada apa?" Kepala pelayan itu masih mengenakan piyama, jadwal tidurnya diganggu.

"Maaf, tapi kami ingin bertemu dengan Pangeran. Kami ingin berbicara dengannya." Suara Sarah menjawab dengan halus memotong gerakan Andrass yang hendak menjawab dengan tak sabar. 

Tapi kepala pelayan itu justru semakin curiga. "Berbicara sedini ini?" Kepala pelayan itu menggeleng, "Pangeran sedang tidak dalam kondisi yang baik. Kita harus menghargai jam istirahat beliau." Kepala pelayan itu menolak dan berbalik. 

"Eli. Ini ada hubungannya dengan Eli." Mendengar ucapan Andrass, pelayan itu berhenti berjalan. "Sesuatu yang sangat penting tentang Eli." 

Sarah dan Andrass berhasil duduk di ruang kerja Ji. 

Tidak lama, sampai Ji memasuki ruangan dengan piyama dengan luaran. "Pangeran Ji, maaf sudah mengganggu malam Anda.." Sarah langsung  berdiri dan menunduk hormat. 

Ji tersenyum kecil, "Tidak apa, lagipula aku tidak bisa tidur.." Kata-kata itu sangat sesuai dengan tampilannya. Sarah bisa melihat matanya yang merah dan bengkak. "Monica." Andrass langsung bersuara ketika Ji sudah duduk di sofanya.

"Hm?" Ji mengernyit mendengar nama yang keluar dari bibir Andrass.

"Gadis yang kau temui di gedung aristokrat, Monica." Sarah menarik tangan Andrass untuk duduk terlebih dahulu, tapi Andrass tidak sabar, "Adik kandung dari Eli, Monica." 

Ji berdiri menatap serius Andrass bertanya-tanya candaan apa yang tengah ia lontarkan. "Pemuda kecil yang memanggil Eli dengan Liel, Monica." 

Otak Ji bekerja memproses perkataan itu. 

"Ia berada di tangan Kapten George.. tolong dia.." Andrass melihat ekspresi Ji yang masih mencoba percaya. 

Ji kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Sarah yang hanya diam membuatnya tersenyum pahit. 

Tangannya mengepal erat, emosinya seketika berantakan. "Baiklah. Aku mengerti, kalian bisa kembali." Ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya. 

Di lorong ia mengambil napas dan menghembuskannya dengan cepat. Menenangkan diri baru kemudian berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. 

.

.

.

"Seharusnya aku tidak pernah membiarkanmu keluar. Tidak.." Kapten George mengangkat kepala itu dengan ujung sarung pedangnya, "Seharusnya aku langsung merelakanmu hari itu juga, harusnya aku tidak pernah bersimpati karena wujud kecilmu.." 

Gadis itu kuyup oleh air yang disiram padanya setiap ia pingsan oleh siksaan tidak henti itu. 

"Apa kau percaya Eli menyelamatkanmu dan kau layak hidup?" Gadis itu menatap mata Ayahnya dengan sayu. "Kau!" "Ahk!"Ia menendang tubuh gadis itu "Kau!" tanpa ampun. "yang membunuh Eli!"

Gadis yang tidak tahan itu berteriak nyaring, memberontak. Fisiknya dirusak dan mentalnya diremuk. "Diam!"

"Tuan George!" Pengawal itu berlari masuk ke lokasi, "Pangeran Yo masuk dengan paksa ke kediaman dan tengah menuju kemari."

"Pangeran Yo?"

.

.

Ji masuk, mengabaikan sapaan Tuan George dan terus berjalan menuju lapangan belakang.

"Pangeran.." Mira yang melihat Ji sampai ke lapangan belakang langsung mendekat. 

"Tadi malam penjahat itu berusaha melukaiku!" Ji mengalihkan pandangan marahnya ke arah sumber suara. Ia mendengus, menyadari fakta kalau Mira dan Ibunya ikut menyaksikan gadis kecil itu disiksa. 

"Untuk apa seorang prajurit kerajaan melukai kalian?"

"I-itu.." Ia berpikir sambil meremas roknya, "Karena dia pernah menjadi bagian dari keluarga ini!" ucapnya lantang.

 Semua orang langsung fokus pada ucapan Mira, "Ia adalah anak dari medan perang. Ketika pulang, Eli memaksa untuk membawa gadis itu ke istana bersamanya karena gadis itu sering membuat keributan di rumah. Ketika ia muncul, kami tidak mengingatnya karena tujuh tahun telah berlalu." Mira beralih menatap gadis di tengah lapangan yang hanya diam. 

"Kemarin malam ketika rombongan prajurit lain pulang, ia justru hendak melukaiku dengan pedangnya." Ia kembali menatap mata Ji, "Ayah pasti takut aku juga akan menghilang setelah Eli."

"..." Mata Ji menatap mata hazel Mira dengan iba. Pandangannya kembali ke arah gadis yang tangan dan kakinya diikat. Ia berjalan mendekat. 

Ji melepas tali yang mengikat gadis itu. "Biar saya_" Pengawalnya hendak membantu tetapi tangan Ji yang terangkat membuatnya berhenti berbicara. 

"Apa ini hasil didik pangeran di negeri ini?!" Kapten George kembali bersuara. "Melepaskan penjahat yang hendak melukai putri satu-satunya seorang patih?" 

"Adukan kepada hakim!" Ji membalas tatapan Kapten George. Mereka saling beradu tatap dengan amarah. Suasananya menjadi panas. Baru kali ini Mira melihat Ji semarah itu. 

"Tidak perlu!" Mira kembali bersuara, ia berjalan mendekat ke arah pangeran dan menatap Moca. "Mungkin ini hanya kesalahpahaman." "

Tadi malam aku berteriak ketakutan karena ia menghunuskan pedangnya tanpa peringatan." 

"Aku pikir ia memang pantas dihukum berat, tapi kehadiran Pangeran Ji disini sepertinya menjelaskan kalau ia hanya ingin menyampaikan hormatnya." 

"Karena itu.. Ayah, jangan marah.." Mira tersenyum lembut ke ayahnya. Mira menatap mata Ji yang dipalingkan kesamping. "Aku akan memaafkannya, dan juga minta maaf padamu. Ia pasti prajurit yang setia." 

Ji tidak lagi merespon, ia menaruh salah satu lututnya ke lantai dan mengangkat Moca dengan hati-hati. 

Mira tersenyum layaknya malaikat tapi alis matanya mengedut. Ia merasa adegan ini tidak asing. Seolah kejadian dari masa lalu terulang kembali. Déjà vu.

Ia menatap punggung Ji yang menjauh. 

Ji duduk di kereta kudanya sambil membaringkan tubuh Moca untuk bersandar padanya. 

Mata gadis yang sedari tadi terlihat kosong itu masih tidak mau menatapnya. "Monica?" Ji mencoba memanggilnya pelan. "Umh_" Gadis itu mendorong dada Ji berusaha menjauh. 

"Jangan begini.." Ji tidak membiarkan gadis itu menjauh dari pangkuannya. Gadis itu justru semakin memberontak menolak pelukan Ji. 

"Tenanglah aku tidak akan melukaimu.." Ia merasa begitu bersalah melihat gadis itu menangis. 

Gadis itu baru diam ketika kehilangan kesadarannya. Ji memeluk gadis itu erat."Eli, aku akan melindunginya untukmu.."

Ia mengambil sapu tangannya, membersihkan wajah itu pelan. "Monica.." Ia mengingat-ingat wajah gadis itu di memorinya. 

"Pemuda kecil yang menemaniku ke goa air panas-hmm..? Pantas saja Eli berwajah masam seharian setelah itu, hahah." Ia tertawa setengah hati, menutup mulutnya agar tidak kembali menangis.

"Monica kah?" Menyebutkan nama itu membuatnya sedikit lega. "Monica.." Ia membelai rambut gadis itu pelan. 



Monice.

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang