Entitled23

60 10 1
                                    

Setelah pagi yang gelap dengan awan mendung siang itu hujan turun begitu deras. "Anda sudah mengetahuinya? Sejak kapan?" Sarah duduk bersama dengan Ai di ruangannya. Tangannya meremat cangkir teh tetapi pandangannya tetap tenang ke arah Ai. 

"Gen memang tidak menipu. Sejak melihatnya aku sudah tahu." Ai mendengus sedikit, "Aku tidak menyangka kau baru bertemu dengannya setelah umurnya 13 tahun. Awalnya aku sedikit heran, bagaimana bisa Sarah menahannya." 

Ai bersandar pada tangannya sambil memainkan rambutnya, "Tapi mengingat ada yang menukar anak sendiri, juga ada yang memburu anaknya sendiri. Aku juga disini tidak bisa membanggakan diri.." Ai kembali memandang Sarah, "Yo Rey." 

"Aku tidak ingin berita ini tersebar. Aku tidak ingin mencuri perhatian Ratu dan aku tidak percaya dengan Pangeran Ji."

"Percayakan pada ku." Ai tersenyum lebar, membuat antar alis Sarah berkerut. "Aku akan menganggap Rey adikku sendiri." 

"Aku akan memberikan apapun yang terbaik untuknya." 

Sarah tidak bisa tidak mendengus mendengarnya, "Aku tidak mengerti kenapa Tuan Putri bisa seyakin itu.. Anda bahkan tidak mengingat paman Anda." 

"Aku memang tidak ingat. sudah tau sedikit Rey orang seperti apa. Aku menyukainya." Ai mengambil cangkir teh kemudian meminumnya. "Aku yakin Sarah sendiri bukannya terima begitu saja apa yang sudah dilakukan kepada Paman." 

"Tidak ada tempat lain untuk mempercayakannya selain aku, kan?" Ai kembali mengangkat sudut bibirnya, "Atau mau membiarkannya tetap menjadi prajurit yang tidak dikenal dan selamanya 'REY' yang tidak tahu apa-apa?" 

Kilat dan bunyi gemuruh besar terdengar di atas kapital Emeria. 

"Pangeran Ji!" Kuda Ji berkikik dan berlompat-lompat karena kaget dengan dahan pohon tumbang mengenai punggung belakangnya.

Andrass segera turun dari kudanya, memeriksa Ji yang terjatuh. "Tenanglah-tenanglah..." Andrass berusaha menenangkan kuda yang tengah kebingungan itu agar tidak jadi lebih membahayakan. Hujan badai membuat jalanan siang begitu gelap dan basah. 

"Pangeran Ji.. kau tidak apa?" Andrass mengulurkan tangannya pada Ji yang masih di tanah. "Tidak apa, hanya kaget." Ji menggapai tangan Andrass dan berdiri. 

Mengingat tugasnya sebagai ajudan, matanya memeriksa tubuh Ji. "Hmm." Ia memutari Ji dengan tatapan menyelidik. Andrass mengamati bagian bawah jubah hitam Ji yang robek. 

Tidak tahan dengan perilaku Andrass, ia menghela napas, "Benar, kakiku terluka, tapi tidak perlu melebih-lebihkannya." Ia berjalan pincang menghampiri kudanya. 

"Sungguh? Biar aku lihat lukanya." Andrass berusaha meraih jubahnya tetapi Ji menghindar.

"Lakukan saat kita sudah sampai di kota. Kita tidak boleh terlambat." 

"Itu tidak pen_"

"Ssh, bantu aku naik ke kuda saja." Ji memaksa Andrass dengan senyum tipis di bibirnya, matanya melirik ke tanah sebentar dan kembali memandang Andrass. Andrass menurut, tangannya menapak tanah, membiarkan Ji menginjak punggungnya dan naik ke atas kuda. 

Ia kembali berdiri, "Tunggu, memangnya separah apa sampai Anda memintaku jadi tangga_"

"Hah!" Ji tertawa kecil melihat Andrass dan menarik kekang kudanya. 

"Ah?! Hei!" Andrass menatap kuda Ji yang sudah menjauh begitu cepat, "Dasar gila kerja." Selesai mengatakannya ia menoleh kekanan kekiri, memeriksa apa ada yang mendengarnya mengatai pangeran kerajaan. "Tsk, sial kudanya cepat sekali." 

.

.

"Wah!! Anda menghadiri pertemuan selama satu setengah jam dengan luka menganga seperti ini, dan Anda terlihat biasa saja?" Andrass benar-benar tidak mengerti dimana syaraf sakit orang didepannya. Luka pada betis samping itu cukup dalam.

Ji yang duduk di ranjang rumah sakit berkedip mata, "Benar juga, setelah melihat luka baru terasa perihnya."

Dokter pria yang memerban lukanya menggeleng. "Saya rasa Anda hanya beruntung, tidak terjadi pendarahan parah." 

"Ahahah, begitu kah?" Ji tidak tau harus bereaksi apa. "Anda menunggang kuda, perbannya harus segera diganti setelah Anda sampai ke tempat tujuan Anda." 

Ji mengangguk mendengar perkataan dokter. "Baiklah, ambil istirahat kalian, saya akan keluar." Ji dan Andrass sama-sama mengangguk. 

Andrass menghela napas. "Pangeran tunggu disini, saya akan mencarikan setelan baru untuk Anda." Ia segera keluar usai mengatakannya. 

Sementara Ji yang melihat celananya yang robek dengan noda darah ikut menghela napas dan membaringkan tubuhnya ke ranjang. Sekali tidak cukup, ia menghela napas dua kali. 

Pagi menjelang siang, Ji dan Andrass mengembalikan kuda mereka di istal istana. "Apa aku berjalan natural?" Tanya Ji kepada Andrass sambil berjalan mendahului Andrass. Ajudannya itu menggeleng. "Begini?" 

Andrass mengendikkan bahu, "Lumayan." 

"Kalau begitu segini? Ak." 

"Sudahlah, memangnya apa yang akan Mo lakukan?"

"Ia tidak akan berbicara denganku karena kesal?" Ji mengira-ngira.

"Kan, hanya itu kemungkinan terburuknya. Lagipula Mo bukan tipe yang marah berlama-lama. Hadapi saja." Andrass berbicara enteng sambil terus berjalan. 

"Oh, Monice baru keluar dari Istana Ratu. Oh, Putri Yo juga berjalan ke arah berlawanan dengan kita." Andrass melihat akan terjadi papasan besar hari ini. "Kenapa Rey bersama dengan kakakku?" Ji bertanya pada Andrass. 

"Putri Yo mengangkatnya jadi menjadi pengawal pribadinya." Ji yang mendengarnya merasa janggal. Ia tau perempuan itu paling tidak suka diikuti kemana-mana. Agak aneh rasanya baru sekarang kakaknya itu memperkerjakan seorang pengawal. 

Monice berjalan dengan berkas dokumen di tangannya, melihat di depannya akan ada jalan persimpangan yang canggung. "Monice!" Ji memanggilnya. Ia tersenyum, berjalan lebih cepat ke arah Ji, "Ak!" Ia tersandung tali sepatunya yang lepas. 

Ia berhasil menyeimbangkan diri tapi dokumen dalam berkas itu tersebar keluar. "Ah, maaf." Ia meminta maaf saat dokumen itu mengenai gaun Ai. 

Salah satu sudut bibir Ai juga alisnya terangkat. Ia menonton hal yang menarik.

Rey yang berada di belakang Ai. segera membantu Monice mengumpulkan kertas dokumen itu. Andrass pun ikut membantu. "Ji, kau tidak membantu tangan kananmu?" Ai ikut penasaran melihat adiknya yang selalu melindungi Monice itu hanya diam. 

"A-ah, ada aku yang sudah membantu Mo, Tuan Putri." Andrass mencoba menyelamatkan Ji dari mengarang jawaban. Ia tahu luka di kaki Ji pasti sakit untuk jongkok mengambil kertas di tanah. 

Rey yang ikut mengumpulkan itu menatap Ji yang juga menatapnya. "Huh." Rey tersenyum sirik, "Monice, kau tau ada pepatah orang yang tinggi adalah orang yang melayani bukan dilayani." 

Monice yang sibuk mengambil dan menata sekian banyak kertas, tidak memperhatikan perkataannya. 

Tapi Ji mendengar dan paham jelas apa maksud Rey. Ia meyindirnya tidak pantas menjadi pemimpin. "Apalagi yang tidak melayani, tidak pantas menjadi pemimpin." Mendengarnya dari seorang yang lebih muda enam tahun membuatnya panas. 

"Pa_" Mata Andrass melebar melihat Ji berjongkok dan mengambil beberapa kertas yang tersisa dan menyerahkannya pada Monice. "Terima kasih.." Monice segera berdiri setelah menyusun kembali dokumen itu menjadi satu. 

".... hh.." Ji berusaha menahan rasa sakitnya ketika kakinya berusaha berdiri. Tangan Andrass otomatis memegang tangan Ji membantunya berdiri. "Terima kasih_"

"Pangeran Ji.. kaki Anda kenapa?" 

Perlahan Ji mengalihkan pandangannya dari Andrass ke gadis di depannya. Mata Ji membulat. Orang-orang itu terdiam mendengar suara Monice yang gemetar. Air mengalir dari mata yang menatap noda darah di celana biru muda Ji. 


My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang