Entitled10

85 13 1
                                    

"Mm.. mungkin takdir mempertemukanmu denganku supaya kamu mendengar ini.."

Matanya mengagumi keindahan gadis yang menatap ke arah sinar matahari terbit dari balik rumah tuanya. Ujung rambutnya memantulkan kembali warna keemasan.

"Gadis muda.. kamu adalah berkat bagi Kerajaan Emeria.."

Mendengarnya, mata gadis itu membulat. Menatap tidak percaya kearah nenek yang tersenyum manis kepadanya. Gadis itu terdiam begitu agak lama.

"Kau sudah mendengarnya, sekarang pergilah.. bawa kudamu dan makanan itu.. Temanku akan datang sebentar lagi." Ucap nenek itu menatapnya.

Monice hanya mengangguk. Ia membawa makanan dan kuda itu kembali ke penginapan.

Semua orang yang ia temui disini orang baik, nenek itu pasti berkata begitu untuk menghiburnya.

.

.

Sinar matahari masuk melalui sela jendela tanpa tirai. Cahaya kamar keemasan itu membuat Ji mengerjap matanya perlahan. Ia duduk, mengambil handuk yang terjatuh. Meremasnya, merasakan sedikit basah. Matanya ia edarkan ke sekitar ruangan. Mencari apakah Monice masih ada di dekatnya.

Ia turun ke bawah. Bertanya pada pria tua yang setengah tertidur di kursi tunggunya, apa beliau melihat gadis yang datang bersamanya.

"Gadis itu keluar pagi sekali dengan kudanya!" Ucap Pria itu setengah tertidur, "Oh, apa kau sudah sehat?" Tanyanya sebelum ia kembali mendengkur tidur.

Mendengarnya, Ji jadi lemas dan duduk di anak tangga.

Eli meninggalkannya, begitu juga ia tidak bisa egois meminta Monice untuk tinggal.

Ah, padahal ia belum meminta maaf pada Monice. Apa masih bisa jika ia menyusul sekarang? Ia masih ingin bertemu dengannya sekali lagi.

Ia kembali ke kamar memakai luarannya. Turun ke bawah mengembalikan kunci kamar dan keluar.

Tujuan perempuan itu hanya selatan, kan?

Ia pergi ke istal, hendak segera menyusul gadis itu. Namun, matanya justru mendapati gadis berambut jambu yang tersenyum riang memberi makan kudanya.

Grep!

"Uh?!" Monice kaget ketika Ji tiba-tiba memeluknya erat dari samping.

"Pangeran? Apa Anda bermimpi buruk?"

"En" Ia mengangguk kalau itu bisa membuat pelukannya bertahan lebih lama. 

Monice memegang punggung tangan Ji, memeriksa suhu tubuhnya. "Masih sedikit demam, apa Anda ingin beristirahat lebih lama?"

Ji menekuk lututnya ke lantai, memeluk Monice lebih erat lagi. Ia tidak ingin memberikan kesempatan bagi gadis itu untuk kabur lagi. Mulai saat ini gadis itu harus bersamanya.

Monice yang tidak tau seperti apa mimpi buruk Ji, hanya terdiam disana. Mengusap punggung dan kepalanya yang Ji benamkan di dadanya. Ia baru percaya mimpi buruk benar-benar bisa membuat seseorang menjadi aneh.

"Pangeran Yo, Anda pasti lapar. Menu disekitar hanya ada roti bao dan sup jagung. Anda lebih suka yang mana?" Tanyanya sambil merapikan rambut Ji kembali. Jujur saja, ia sudah lapar karena meladang di kebun nenek. Ia ingin memilih sup jagung yang lebih manis.

"Sup jagung."

Suara Ji membuat senyum Monice langsung mengembang. Ji berdiri, ikut tersenyum melihat tingkah imut gadis itu.

Monice menggandeng tangan Ji, dan memimpin jalan menuju makan pagi.

"Pangeran Yo_" Ji langsung menutup mulut Monice dengan tangannya. Tapi ucapan dan gerak gerik sudah membuat masyarakat sekitar memandangi mereka. Penduduk merasa waspada, orang dengan sebutan pangeran ini anak pimpinan daerah mana ataukah anak pimpinan bandit.

"Ji." Ji menyuruh Monice memanggil namanya langsung.

"Mh, Tuan Ji.." ucapnya setelah berpikir sejenak, "Mengapa Anda mengikuti saya semalam dengan kondisi sakit?" Ia memainkan sendok kayu menunggu makanan datang.

"Aku yakin kau juga sudah mendengarnya semalam." Ji tersenyum tipis. Gadis judes semalam sudah hilang digantikan gadis riang dan imut. Ji menyandarkan kepalanya ke tangan, pening. Ia menutup matanya.

Monice menyadari tingkah Ji. Ia kembali bertanya, "Bagaimana dengan pekerjaan Anda?"

"Aku sudah membereskan semuanya sampai jatuh sakit." Ji membuka matanya mentap Monice, "Agar bisa mengikutimu ke selatan."

"Aku bisa mengirim surat pada Anda kalau hanya ingin tahu letak rumahku.."

"Sudahlah, aku tahu jalan yang lebih baik ke Selatan. Hutan Emeria, Pantai Barat, Danau Atlas.."

"Orang tuamu.." Ji mengendikkan bahunya. "Aku sudah melakukan tugasku, aku tidak peduli."

Seorang wanita membawakan makanan mereka ke meja. Mereka berdua berterima kasih dan mulai menyantapnya.

Monice melahap sup jagung dan meminum kuahnya sampai habis. Ji makan perlahan, mengamati tingkah gadis itu. "Omong-omong, kau mengganti gaya rambutmu.. terlihat cantik."

Monice menatap Ji bertanya dengan tatapan bingung. Membuat Ji tersadar apa yang ia katakan dan wajahnya memerah.

"Wajah Anda memerah. Sebaiknya Anda beristirahat lebih lama, saya ingin berkeliling disini juga." Monice meminum air kemudian menatap lataran luar.

"Tidak, bukan karena itu.." Ji memalingkan wajahnya malu.

Pada akhirnya Ji kembali berbaring di ranjang. Sementara Monice berjalan-jalan, berkenalan dan membantu penduduk yang mayoritas usianya tua-tua. Satu dua anak kecil berlarian di jalan, tapi tidak banyak.

"Ah.. jarang sekali anak muda datang kemari.. Bisa tolong bantu membenarkan genting?" Mendapati ibu-ibu memintanya, ia langsung mengiyakan.

"Oh, kamu perempuan yang lincah ya.." Ia hanya nyengir mendengarnya.

Melihat perempuan itu lincah layaknya laki-laki, mereka meminta lebih banyak bantuan.

Orang-orang disana senang mendapatkan bantuan dan Monice senang bisa membantu. Mendorong gerobak, memotong kayu bakar, membuat ember baru, juga mendengarkan cerita orang-orang itu.

Pemuda-pemudi selalu dipanggil melakukan kerja di kota-kota dan yang sudah tua atau sakit boleh kembali ke kampung halaman. Mereka hidup berkecukupan, tapi sepi rasanya tanpa anak muda.

Hari sudah sore, mereka kembali ke rumah masing-masing. Monice juga hendak memeriksa Ji, tapi ia kembali dipanggil. "Sini, bantu kami memasak, kau bisa makan dan berikan juga ke tuanmu!" Mendengar kata makanan, ia tidak menolak.

Masalah kerja fisik, ia bisa dengan mudah melakukannya. Tapi ia tidak terbiasa memasak. Mereka menertawainya ketika angus hitam itu mencoreng wajahnya. "Nak, apa saudaramu laki-laki semua? Bagaimana dengan orang tuamu?" Mereka penasaran karena tingkah perempuan imut itu tidak seperti penampilannya.

"Aku dibesarkan di tempat pelatihan prajurit." ucapnya kemudian kembali meniup bara api.

Mereka terus mengobrol sampai makanannya hampir siap. "Kenapa kau tidak panggil tuanmu kemari dan makan bersama? Kami juga sudah menyiapkan minuman herbal untuknya."

Ide bagus, Monice mengangguk dan memanggil Ji.

Monice masuk kekamar membawa piring lilin dan air. Ia meletakkannya ke meja kecil di seberang ranjang. "Pangeran Yo.. Bangunlah.. Cuci wajah Anda dan makan malam.." Ia menyodorkan sebaskom air hangat.

Ji kembali terbangun, ia duduk. Tangan Monice kembali memeriksa suhu tubuh Ji.

"Hahah, kau melakukan apa saja?" Melihat wajah Monice yang terkena angus, ia mengelapkan handuk basah itu ke pipi Monice pelan.

Monice hendak menghentikan tangan Ji, "Biar aku saja.." Melihat wajah Monice kembali putih kemerahan, ia baru berhenti. "Handuknya jadi kotor, biar saya bawakan yang baru.." Monice merasa tidak enak, ia segera keluar untuk mengambil handuk baru.

Sementara Ji hanya membasuh wajahnya dengan bantuan tangannya saja. Ia ini pangeran yang pernah berperang, kesederhanaan itu biasa baginya.

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang