Entitled28

55 8 1
                                    

"Tsk, aku benar-benar tersudut." Ji memijit batang hidungnya sambil bersandar pada punggung kursinya. Ia tengah makan siang bersama dengan Andrass, yang cuma tersenyum pahit. 

Andrass saja sudah lelah dan ingin segera kembali ke tanah air tercintanya, apalagi orang yang harus memikirkan masalah pekerjaan. Beban nama Emeria tengah menahan ke dua bahu Ji. 

Di kerajaan pertama yang ia temui, ia bermasalah dengan anak seorang duke yang ternyata memiliki kemungkinan untuk menjadi penerus tahta. Di kerajaan kedua, ia harus kesulitan menyesuaikan kebudayaan dan melaksanakan ritual yang sulit hanya untuk mendapatkan cap diatas kertas. Kini di kekaisaran, balasan dari perjanjiannya adalah ia harus menikahi putri bungsu dari sang raja. 

"Para menteri bahkan setuju... hei, yang serius saja mereka menjualku hanya untuk membuka jalur perdagangan." Ji sudah menghela napas berkali-kali saat ini. 

Andrass tersenyum datar. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" 

"Tsk, hah.. tsk," 

"Haish, berhenti menghela napas. Ini memang tugasmu sebagai pangeran mahkota." Ia mengacungkan sumpit logamnya. "Pikirkan juga Mo, Monice. Bukannya dia cukup untuk membuatmu menolak tawaran itu?" 

"Benar, aku harus menolak, mereka akan kecewa sendiri dan mengajukan kerjasama balik, kan?" Ji mencoba menenangkan dirinya sendiri. 

"Hmm, ini adalah negara berdikari, bahkan tidak melakukan banyak kerja sama dengan negara tetangganya." Mendengar ucapan Andrass, Ji yang juga mengetahuinya kembali menghela napas. "Menurutmu apa yang akan kakakmu lakukan? Setahuku ia cukup cerdik.." Andrass mengatakannya sambil berusaha mengambil makanan dengan dua stik di tangan. 

Ji mencondongkan badannya, ia berbisik, "Kak Ai akan menggunakan duke dan meminjamkannya uang untuk menyuap dukungannya, kalau masih belum berhasil.. Ia akan mengiming-imingi pedagang dengan jumlah uang yang bisa mereka dapatkan, dan kalau belum berhasil.. Fix, ia akan berusaha menjatuhkan dan mengganti rajanya."

Andrass menatap Ji, "Oh, begitu?" Ia merespon setengah hati, satu potong makanan pun belum berhasil ia angkat masuk ke mulut. "Itu tidak bagus, tapi kau mau bagaimana? kau punya solusinya?" Ia menaruh satu stik di satu tangan kemudian mencoba mengambil makanannya kembali. 

"AISH, SIALAN! Aku ingin makan makanan Emeria!" Andrass menghentakkan kedua stik itu ke meja. "Makanan apaan, kenapa repot sekali mengambilnya.." kesahnya.

Teriakan Andrass itu membuat Ji menghela napas lagi. Ia mengambil sumpit, meratakan ujungnya dan mengambil makanan. Ia mengangkatnya, mengarahkannya pada mulut Andrass, "Atau kau mau makan dengan tangan?" Andrass terpaksa membuka mulutnya dan memakan dari sumpit Ji. 

"Sesudah kau kenyang, kau harus bantu aku berpikir." 

.

.

.

Sementara pagi-pagi di pelabuhan, Monice mengantar Pangeran Noah meninggalkan Emeria. "Apa ini? Kau terlihat lebih senang mengantarku pergi daripada ketika kita bertemu." Noah geli melihat gadis itu lebih sering tersenyum. 

"Tepat. Semoga Anda diberi perjalanan yang aman dan lancar, Pangeran Hora." Monice menundukkan kepalanya sekali. 

"Noah," senyum Noah membuat alis Monice sedikit naik. "Kita berteman." Noah menjelaskan ucapannya. 

Gadis itu mengangguk, "Baiklah, Noah."

Senyum Noah melebar, "Kau bisa mencariku kalau butuh bantuan. Orang-orang kasino selalu tau keberadaanku." 

Monice menoleh ke kanan dan ke kiri. "Ku kira aku harus bertanya pada Lea untuk mencarimu, dia tidak ikut denganmu?" 

Noah terkekeh mendengarnya, "Aku berangkat pagi-pagi untuk menghindarinya." 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang