Entitled18

65 11 1
                                    

Setelah satu bulan beradaptasi dengan pekerjaannya. Monice berulang kali mengambil alih tugas Ji.

Syd tersenyum pahit. Bocah yang awalnya menumpahkan tinta itu dalam waktu sebentar saja sudah menggantikan posisinya.

"Monice." Ji mengetuk bahu Monice. "Ah, ya?" Monice berhenti memeriksa dokumen di tangannya dan mendongak.

"Kau sudah menyusun dokumen perkembangan setiap daerah, hubungan pajak, serta perkembangan isi lumbung gandum untuk musim dingin?"

Monice mengangguk, ia menutup dokumen yang tengah ia periksa untuk ke tiga kalinya dan menyerahkannya. "Kerja bagus." Ji mengacak rambut Monice, "Aku akan mentraktirmu makan malam, tunggu aku."

Monice mengangguk. Ji berjalan keluar dan siap menghadapi pertemuan dengan penguasa negara. Raja, Ratu, Menteri, bangsawan tingkat atas, absen: Putri Yo Ai.

Diskusi rapat berjalan dengan lancar. Saat ini kerajaan mereka berada dalam kondisi prima. Penelitian teknologi terus maju, kaum holistik juga tidak menentang pergerakan imperial.

"Putri Yo Ai, sudah terseleksi menjadi kandidat paling disukai Pangeran Ruiz." Mereka mulai membahas topik panas yang tengah beredar.

"Pangeran Yo Ji, bagaimana dengan Anda? Kapan Anda akan memilih kandidat yang akan mendampingi Anda?" Para penguasa negara itu saking tertawa membahas topik Putra Mahkota kerajaan mereka.

Ji tersenyum manis, "Saya ingin membiarkan waktu yang menentukan."

"Yah, Kerajaan Emeria masih stabil sehingga Anda bisa bebas menentukan pendamping Anda," ucap salah satu menteri.

"Ah, Lady Mira akan memulai pesta debudanténya akhir musim gugur nanti, Tuan George?" Sang Ratu tidak pernah kendor menanggapi masalah tentang bakal keluarga kerajaan.

Tuan George berdeham, "Hem, benar."

"Aku senang mengundangnya ke istana untuk berbincang. Ia anak yang cerdas," puji Ratu dihadapan orang-orang.

"Oh, begitu? Saya justru mendengar Pangeran Yo memiliki pengawal baru yang dijadikan tangan kanannya.. seorang perempuan?" Tuan George memancing topik yang banyak menaruh pro-kontra masyarakat.

Para menteri tersenyum miring, mereka sesekali melihat gadis bertubuh kecil yang menyampaikan dokumen ke kementerian. Mereka mengakui kemampuan gadis itu, tapi gendernya sebagai perempuan sulit diterima.

"Benar." Ji membuka suara, "Gadis itu yang menyusun presentasiku barusan. Ia gadis muda yang brilian. Aku beruntung menjadikannya milikku."

"Baiklah, sampai disini saja rapat kita. Aku ingin beristirahat," Raja menyelesaikan rapat dan pergi meninggalkan ruangan bersama dengan Ratu.

Para hadirin di dalam ruangan juga mulai meninggalkan kursi mereka satu persatu.

"Pangeran Yo." Panggil Tuan George kepada Ji yang tengah berjalan keluar. "Apa benar pengawal barumu yang menyusun presentasi itu?"

Ji tersenyum mendapati pertanyaan yang tidak biasa itu, "Ya, Monice menyusunnya sendiri dari lembar awal hingga akhir."

Tuan George melihat ke arah dokumen dengan tulisan tangan kursif.

"Begitu," tanggapnya, "pantas ia memiliki nyali untuk menampar putri seorang bangsawan."

Senyum Ji menghilang, "Aku anggap itu sebagai sebuah pujian untuk presentasiku hari ini."

Tuan George mendengus dan berjalan melewati Ji.

Tinggal Ji saja di dalam ruangan.

"Ahah, hahah.. kalau aku Eli, aku pasti akan bilang pada mereka kalau ini masih permulaannya saja, hahah." Ia tertawa lucu mengetahui Tuan George mengakui presentasinya yang disusun oleh Monice sendiri.

"Aku benar-benar harus mentraktir Monice makan besar hari ini."

.

.

Setelah kalah dan lelah berdebat dengan Sarah hasilnya ia memakai rok abu-abu tua selutut dengan korset kain merah berkancing di pinggangnya. Sarah ingin memakaikannya pakaian berwarna terang, tapi Monice menolak dengan alasan ini bukan acara spesial seperti halnya pesta. 

Ji juga mengganti pakaiannya untuk pergi keluar dengan pakaian yang lebih tebal karena cuaca mulai dingin. 

Mereka kembali bertemu di ruang kerja. Saling tersenyum kemudian sambil mengobrol berjalan keluar. Sampai ketika mereka naik di kereta kuda, Ji baru menyampaikan, "Monice, kita akan pergi untuk mengambil sertifikat dan namamu di gereja." 

Monice menatap Ji, tidak memahami maksudnya. "Namamu tidak terdaftar di catatan penduduk sipil. Bisa dibilang selama ini Kerajaan Emeria bukanlah kerajaanmu dan kau bukan rakyatnya." 

"Setiap anak terdaftar dalam keluarga wali. Bahkan anak jalanan pun terdaftar identitasnya, tapi tidak ada riwayat catatan tentangmu sama sekali." 

"Jadi.. sebaiknya kau buang identitas george. Kau bisa jadikan nama pemberian itu sebagai identitas barumu. Keluarga barumu adalah keluarga Gereja Agung Emeria." Ji masih terbawa kesal kalau mengingat perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan kepada keluarga sendiri.  

Monice mengangguk pelan. Sejak kembali dari selatan, ia sudah memutuskan untuk mendengarkan Ji yang membawanya kembali. Sebagai Monice ia akan melawan orang yang melawannya. 

Gereja Agung, sama dengan namanya. Gereja pusat yang dibangun diatas gunung itu begitu besar dan megah. Bangunannya jauh terlihat lebih kokoh daripada istana. Seolah batu meteorpun tidak bisa menjatuhkannya. 

Tertulis dalam bahasa daerah kuno, "Tempat Mujizat Tuhan Terjadi adalah Hati yang Percaya" pada tembok batu itu. 

Bangunan itu membuat Monice yang pertama kali kesana merasa ngeri. Semua bangunan itu membuatnya terasa seperti miniatur boneka kayu. 

Monice mengikuti langkah Ji dari belakang. Ia mendengar Ji bercakap dengan salah satu pekerja yang kemudian meminta Ji untuk segera masuk ke dalam tempat ibadah gereja. 

.

.

"Monice Kannelite" menjadi bagian dari keluarga Gereja Agung, melakukan tugasnya sebagai pengawal Pangeran Emeria dan diberkati. 

Monice tidak mengira mereka akan makan malam di lingkungan gereja. Tapi ia senang. Suasana gereja terlihat begitu damai. Terkadang terdengar suara anak gereja yang saling berbincang dengan temannya. 

Tempat yang tidak begitu ramai dan sepi pengunjung. Hanya orang pilihan khusus yang dapat tinggal ataupun masuk di Gereja Agung. Tempat suci itu dijaga bersih. Misal perang merambah keistana, satu pedang pun tidak boleh masuk ke Gereja Agung. 

Monice berdiri sendiri dari ujung batu. Pemandangan langit jingga kemerahan dari atas gunung terlihat menakjubkan. 

Monice. Ia tahu ia bisa memastikannya di tempat itu. Siapa dirinya dan mengapa ia lahir ke dunia. Mungkin ia juga bisa bertanya apakah kakaknya menyesal mengorbankan diri untuknya. 

Tepat di belakangnya terdapat seorang pemuda yang terlihat meminta maaf pada atasan karena kesalahannya menyiapkan persembahan. "Kalau kau sudah mengusahakan yang terbaik untuk kebaikan apapun hasilnya, kau sudah bagus. Kau berhasil melakukan kejahatan, apapun hasilnya sia-sia. Kekuasaan yang maha kuasa tetap kekal tidak berkurang."

Monice yang tanpa sengaja mencuri dengar itu menoleh, menatap wakil muda yang barusan berkata-kata itu. 

"Siapkan, yang baru malam ini." Pemuda itu mengangguk dan langsung bergegas untuk mengganti bahan persembahannya.  

Wakil itu melihat Monice kemudian tersenyum kemudian mengangguk dan berjalan kembali ke gedung. Dimana pada tembok gedung itu tertulis, "masih ada harapan." 

Monice berjalan kembali ke depan gereja dan menunggu Ji yang tengah berbincang dengan dewan gereja. 

Mereka kembali duduk berhadapan di dalam kereta kuda dan kereta kuda kembali melaju pelan. 

Mata Ji ia layangkan pada Monice yang semakin bingung karena tatapannya. "Pangeran Ji.. nama khusus dari Pendeta Agung.. apa aku pantas mendapatkannya?" 

Sudut bibir Ji tertarik ke atas, "Pantas." 

My Moca II : MoniceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang